Written by Athiyah Laila 21:57 Feature News • 2 Comments

Liburan yang Tak Memilih Pulang: Kisah Anak Perantauan yang Tak Pulang Saat Libur Lebaran

Di saat gema takbir berkumandang dan rumah-rumah dipenuhi kebersamaan, tidak semua orang beruntung bisa merasakan hangatnya pelukan keluarga. Bagi sebagian anak rantau, momen Lebaran justru dihabiskan jauh dari rumah, di kota yang kini mereka sebut sebagai “tempat pulang”. Banyak menjadi alasan anak perantauan memilih untuk tidak kembali ke kampung halamannya, salah satunya adalah biaya. Seperti halnya cerita dari beberapa mahasiswa UIN Malang yang tidak pulang libur lebaran tahun ini. 

Dian Arifatul Faizah, mahasiswa UIN Malang asal Aceh mengatakan biaya yang sangat melonjak tinggi membuat ia berpikir dua kali. Baginya, liburan yang hanya dua minggu itu terlalu sempit untuk biaya transportasi yang cukup mahal. 

“Jadi ini libur lebaran, kan? Tapi cuma dua minggu. Aku mikir kayaknya enggak worth it dengan harga tiket semahal itu,” ungkap Dian.

Sebagai anak, Dian tidak ingin memberatkan orang tuanya. Dengan biaya transportasi yang cukup mahal, Dian hanya pulang jika orang tuanya menyuruhnya pulang. Dian memilih tidak pulang jika orang tuanya tidak menyuruhnya pulang agar tidak memberatkan orang tuanya. 

Tak jarang, mereka memilih untuk tetap tinggal di perantauan dan mencari alternatif lain, seperti menghabiskan waktu bersama teman atau mengikuti kegiatan yang dapat mengalihkan rasa rindu terhadap kampung halaman.

Ikhwan Arief Maulana Hasibuan, mahasiswa UIN Malang asal Medan, adalah orang yang sangat menyukai bertemu dengan banyak orang, terlebih dengan orang-orang yang dia kenal. Setiap tahunnya, ketika ia tidak pulang ke kampung halaman saat lebaran, ia menghampiri teman-temannya yang juga tidak pulang saat lebaran. Ikhwan mengatakan bahwa cara mengisi kekosongannya ketika Lebaran di perantauan adalah dengan menemui teman-teman sekampung halamannya yang juga berada di Pulau Jawa. 

“Hari pertama, hari raya semester awal maba (mahasiswa baru), itu aku ke Bandung, ke tempat temanku. Jadi, kami jumpa-jumpa gitu sama teman SMA. Terus, hari raya yang kemarin itu aku ke Jogja,” ujarnya.

Baca Juga: Sudah Petang, Cobek Itu Masih Bersih

Nenek Poni adalah golongan yang termaginalkan, di zaman serba teknologi ini orang-orang sepertinya harus bertahan tanpa bisa bersuara lebih. Bahkan, hanya untuk ke pengajian saja nenek tidak bisa, karena tidak memiliki sangu. Hingga nenek hanya bisa melihat tetangga-tetangganya yang lain pergi dan pulang dari pengajian.

Tujuan Ikhwan merantau adalah untuk menyebarkan hal-hal yang didapat agar nantinya dapat berguna di kampung halamannya.

“Aku bertahan di perguruan tinggi itu biar aku nambah insentif baru, pengalaman baru. Supaya nanti mungkin ketika balik, aku nyebarin apa yang aku dapat,” ungkapnya.

Selain itu, tujuan untuk menginspirasi generasi muda menjadi alasan utama baginya untuk terus melangkah. Ia ingin adik-adiknya, serta anak-anak muda di kampungnya, memiliki semangat untuk melanjutkan pendidikan hingga bangku kuliah. Pasalnya, banyak orang di sekitarnya, termasuk beberapa atasannya yang lebih tua, yang memilih untuk tidak kuliah atau bahkan berhenti sekolah. Dengan pendidikan, ia berharap mereka berani keluar dari kampung, mencari ilmu di luar, dan mendapatkan akses informasi yang lebih luas yang masih minim di tempat asalnya.

Sama halnya dengan Salsabila Morinawa, mahasiswa UIN Malang asal Nusa Tenggara Barat, salah satu tujuannya adalah membawa ilmu yang ia dapat untuk diterapkan di kampung halamannya. Salsabila sendiri menganggap bahwa ia harus membawa kembali ilmu yang ia dapat selama di perantauan dan memanfaatkan sebaik mungkin di kampung halamannya. Kurangnya ilmu Psikologi di kampung halamannya membuat Salsabila bertekad ingin menyebarluaskan ilmunya di kampung halamannya.

“Tapi memang dari awal aku tuh berniat untuk balik ke Bima karena memang di Bima itu belum ada psikologi. Kesehatan jiwa itu benar-benar kayak sesuatu yang apa ya? Minim banget, enggak ada lah bisa dibilang gitu,” ungkapnya.

Di perantauan, Salsabila memanfaatkan sebaik mungkin dan mengisi waktu luangnya dengan hal-hal yang bermanfaat. Salah satunya adalah ia mengikuti kegiatan menghafal Al-Qur’an di acara Syauqy Hai’ah Tahfiz Al-Qur’an (HTQ)  selama liburan saat ia tidak pulang.

“Aku tuh ikut kegiatan HTQ yang karantina itu, loh. Karantina sebulan itu buat hafal Quran,” ucapnya. 

Meskipun ia dikategorikan tingkat awal untuk mengikuti kegiatan menghafal Al-Qur’an, ia sangat bersyukur bisa mengikuti kegiatan bermanfaat tersebut. Baginya, mendapat ilmu di perantauan sangat-sangat penting. Mengingat saat-saat perjuangannya untuk dapat merantau di tempat yang jauh bukanlah hal yang mudah. Sebagai seorang perempuan, tentu tidak mudah baginya untuk mendapatkan izin dari orang tuanya agar dapat melanjutkan studinya di tempat yang jauh. Meskipun begitu, hal tersebut tidak meredam semangatnya untuk meraih mimpinya. Hingga membuat berat badannya menurun dan asam lambungnya kambuh saat orangtuanya tidak bereaksi apapun saat ia diterima di UIN Malang dengan jalur SNMPTN. 

Baca Juga: Jejak Sejarah dan Tantangan Konservasi Penyu di Pantai Bajulmati Malang

Tak terbayangkan, yang dulunya masyarakat pesisir Pantai Bajulmati hanya menjadikan penyu sebagai santapan, kini menjadikan penyu sebagai kawan. Dulu penyu tak lain hanya dianggap pendamping nasi, namun sebagai nelayan yang juga bersinggungan langsung dengan pantai, hati Sutari terketuk. 

“Karena ternyata waktu itu asam lambungku naik. Bapakku lagi ngajak ngomong terus aku langsung hampir pingsan. Aku sadar, tapi itu belum pingsan,” ungkap Salsabila.

Salsabila mengatakan bahwa saat-saat tersulit ketika di perantauan adalah ketika pertama kali menjadi perantau yang tidak pulang. Jauhnya dari keluarga membuatnya tak bisa membendung air matanya.

“Tapi ketika H-1 Lebaran, malam takbiran, sedih, sedih banget itu. Aku akhirnya telepon orang tuaku. Aku enggak bisa ngomong apa-apa, aku nangis,” ujar Salsabila Morinawa.

Meskipun tidak pulang adalah pilihannya, tak dapat dipungkiri bahwa ia merasakan kesedihan saat jauh dari keluarganya. Namun, Salsabila memiliki arti ‘pulang’ tersendiri untuk mengurangi kesedihannya. Ia mengatakan bahwa saat berkumpul dengan orang-orang dari daerah yang sama dan menggunakan bahasa daerah yang sudah lama tidak ia dengar, hal tersebut sudah merupakan arti ‘pulang’ baginya.

“Jadi, pulang yang aku maksud sekarang tuh udah bukan pulang ke rumah aja. Karena kalau aku hanya mendefinisikan pulang itu ke rumah, aku enggak akan pulang, gitu. Jadi sekarang, kalau misalnya ketemu teman-temanku segala macam, teman Bima lah, segala macam yang ngerasa rumah, aku akan mendefinisikan itu pulang,” ujarnya.

Editor: Nurul Luthfiyyah 

(Visited 81 times, 1 visits today)

Last modified: 05 April 2025

Close