Aksi demonstrasi “Tolak RUU TNI” yang diadakan di depan gedung DPRD Malang, pada Minggu sore (23/03/2025) berujung pada tindak penyerangan massa dari aparat TNI dan Polri. Tim paramedis turut mengalami kekerasan.
Berdasarkan kronologi aksi yang dirilis oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Malang, pada pukul 18.30-18.40 WIB Aparat Kepolisian bersama TNI melakukan tindakan represif dan melakukan penyisiran serta memukul mundur massa di sekitar balai kota, Jl. Suropati, Jl. Sultan Agung, hingga Jl. Pajajaran. Tim medis yang berlokasi di Halte Kertanegara, sekitar 50 meter dari titik demo juga mengalami pemukulan, kekerasan seksual, dan ancaman (verbal).
Salah satu paramedis perempuan (anonim) bercerita bahwa tim paramedis dibriefing berjaga di titik aksi dan posko medis. Ia sendiri berjaga di dekat para massa aksi dan dirinya sudah memakai atribut berupa lambang Palang Merah.
“Ada yang jaga di posko sama di titik aksi. Aku kebagian yang di [dekat] teman-teman demonstrasi. Waktu (demo) itu, aku jagain di belakang. Aku nunggu misal ada orang yang sakit, soalnya waktu itu udah pakai lambang Palang Merah,” ujarnya.
Perempuan tidak menduga bahwa demonstrasi akan menjadi ricuh. Sewaktu ia akan kembali ke posko, ia mendapati banyak orang yang terluka dari titik aksi.
“Waktu aku di posko udah banyak korban, jadi di situ aku langsung ambil NaCl, ambil plester segala macam. Bersihin luka, karena kebanyakan itu luka-luka jatuh, luka kena kaca, dari genteng juga,” ungkapnya.
Selain demonstran luka-luka di daerah posko, ia juga menjumpai demonstran yang terserang panick attack dan sesak napas di taman seberang jalan.
“Di situ sudah ada pasien lagi, pas ada dua orang. Dua-dua nya laki-laki. Mungkin umurnya sekitar 20-an. Yang pertama sesak, terus yang kedua ini panick attack. Terus aku karena disuruh paramedis ke sana, ya udah aku ke sana nyebrang,” jelasnya.
Baca Juga: Massa Aksi Tolak UU TNI Dipukul Mundur, Jurnalis dan Tim Medis Jadi Korban
Beberapa massa aksi ditangkap, dipukul dan diancam oleh aparat. Tak hanya massa aksi, tim medis dan pendamping hukum yang bersiaga di halte Jl. Kertanegara juga mendapat pemukulan, kekerasan seksual dan ancaman [verbal].
Pentungan Aparat Tak Kenal Paramedis
Perempuan bercerita, awalnya ia merasa gemetaran saat menolong pasien yang sesak napas itu, namun teman-teman paramedis membantu menenangkannya agar tetap bersikap profesional. Dirasa dirinya cukup tenang, perempuan itu baru menangani kedua pasien laki-laki tersebut.
Belum selesai di situ, pasien tetap panik dan terus berkata, “Mbak, kacamata saya, Mbak, di sana teman saya mau bantu. Saya mau bantu teman saya, Mbak.” Perempuan pelan-pelan terus menenangkannya. Barulah ia menyadari, tiba-tiba massa berlarian ke arahnya karena polisi bersama TNI sedang melakukan penyisiran dan ia mendapat pukulan dengan baton stick dari aparat.
“Jadi waktu aku jongkok di trotoar, dari belakang polisi mukul [pakai] tongkat itu di punggung bagian kanan. Terus, aku nyoba berdiri, tapi kena lagi di bagian punggung bawah,” ceritanya.
Tak lama, salah satu teman paramedis laki-laki melindungi perempuan dari belakang sehingga mencegah pukulan terus-menerus.
Setelah mendapat tindakan represif dari aparat, Perempuan tersebut mengajak demonstran tadi untuk menepi ke posko atau mencari tempat yang sekiranya lebih aman. Dengan posisi masih dikejar polisi dan nampak ingin digebuk lagi, Perempuan masih berusaha menenangkan dan menggandeng demonstran yang mengalami panic attack.
“Padahal nyebrang segitu dekatnya, masih dikejar polisi [dan] aku mau digebuk lagi. Intinya aku udah nyebrang di situ sambil menggandeng demonstran yang tadi panic attack di aku. Mas nya itu masih yang panik juga bilang “Mbak, Mbak itu kacamata saya, teman saya, saya mau tolong.” Aku tetap fokus, aku masih coba tenangin Masnya,” terangnya.
Perempuan juga sudah berusaha menjelaskan kepada setiap polisi yang mendekati nya bahwa dia adalah bagian tim medis. Lalu di perjalanan menuju posko, ia tidak tahu keberadaan teman-temannya yang lain. Ia hanya melihat segerombolan polisi yang diduga sedang menghajar Naufal (Rembo) yang sedang berusaha melindungi posko.
“Kok yang aku ngira itu lebih aman, ternyata malah di situ polisinya ngepung. Yang benar-benar baru aku tahu, ternyata di situ ada Mas Rembo yang kena karena nyoba ngelindungin posko,” jelasnya menerangkan situasi.
“Ada Mas-mas lagi yang bantu aku kayak “Pak, ini cewek loh Pak. Jangan dipukul, Pak. Ini cewek, Pak.” Terus akhirnya aku di situ naik ke trotoarnya,” lanjutnya.
Ancaman dan Perkataan Seksis Dilontarkan Bertubi-tubi
Perempuan semakin bingung karena tasnya yang berisi obat-obatan medis berada di posko dan telah dikepung oleh polisi dan TNI. Pemandangan yang masih ia ingat adalah bagaimana para aparat tersebut memukul para demonstran.
“Aku lihat lagi polisi sudah ngumpul (di posko), aku mau ambil tasku. Jadi aku bawa tas kuliah, tapi di situ isinya juga ada obat-obatan medis. Tapi nggak bisa mau ambil soalnya ada polisi sama TNI kumpul, semua ngebukin orang,” katanya.
Hal tak menyenangkan masih berlanjut setelahnya, sewaktu Perempuan tersebut kembali ke posko, ia mendapat perkataan seksis dari aparat yang dilontarkan dengan cukup keras.
“Lonte kamu, lonte ngapain kamu di sini. Pulang kamu. Motor kamu di mana? Ngapain kamu di sini?” teriak Perempuan menirukan.
Karena dalam kondisi tertekan mendapatkan ancaman seperti itu dan ramai segerombolan polisi, perempuan itu langsung meminta maaf dan akan segera pulang. Ia berbalik badan menghadap stasiun. Tiba-tiba dari belakang, salah satu personel memegang punggung perempuan dan mendorongnya.
“Ada salah satu polisi udah berumur, mungkin 40 atau 30-an. Itu ngejorokin aku kayak yang punggung aku tuh dipegang terus didorong, jadi aku hampir tersungkur,” terangnya.
Perempuan merasa lega, karena ia tidak jatuh dan masih bisa berlari bersama tiga teman paramedis lainnya. Mereka berlari mencari tempat aman, karena mereka masih mendapat represi dari polisi dan TNI. Selain itu, ia mengaku bahwa mereka juga melihat intel.
“Kayak ditanyain, “Ngapain kalian di sini? Pulang kalian, pulang kalian. Motor kalian di mana? Pulang kalian cepat, lonte kamu!” ujar nya menirukan ucapan intel yang seksis kemarin.
Mereka berlari ke arah SMA Tugu dan menjumpai intel lagi. Salah satu temannya yang berpengalaman sebagai paramedis demonstrasi menyuruh mereka untuk melepas semua atribut yang berkaitan dengan aksi, bahkan lambang Palang Merah yang ada di lengannya juga. Salah satu relawan menyarankan untuk berganti pakaian agar tidak dikenali aparat maupun intel.
Mereka memutuskan untuk menepi ke tempat yang aman karena di semua area tugu dikepung polisi yang sedang mengejar massa. Perempuan juga bercerita bahwa banyak teman-teman paramedisnya yang terpencar.
“Aku enggak tahu yang lain di mana, cuma aku tahu teman aku yang sama-sama dari kampus, dia kepisah sendirian di satu cafe dan di situ dia dikepung sama polisi, sama tentara. Dia mau keluar pun di luar itu udah dijagain sama polisi sama TNI juga.” Akhirnya salah satu paramedis menjemput temannya di tempat itu. Perempuan lalu berkumpul bersama sesama paramedis. Dari situlah, ia mengetahui kabar bahwa motor yang terparkir di sekitar titik aksi diangkut, alat-alat paramedis berantakan, dan barang-barang di posko diambil.
Perempuan mengaku paramedis menerima ucapan seksis sekitar 5 kali lebih dalam satu gerombolan polisi. Bahkan demonstran yang terluka juga tetap dikejar dan dipukul oleh aparat.
“Karena keadaan panik ya, sudah enggak dengar. Pokoknya aku cuma dengar kayak kamu lonte lonte lonte gitu doang. Entah itu lima kali atau lebih. Mereka kumpul sama-sama, mereka ngomong kayak gitu ke paramedis. Bahkan pasien kami yang luka pun masih aja dikejar dan itu dia juga kena pukul,” katanya.
Alasan Perempuan menjadi relawan paramedis adalah keinginannya untuk berkontribusi bersama teman-teman aksi lainnya. Dalam kondisi lapangan kemarin, menurutnya tenaga medis membutuhkan lebih banyak orang lagi.
“Coba bayangin yang jadi relawan cuma lima orang tapi kondisi chaos [seperti] itu. Sanggup enggak kira-kira satu paramedis menangani satu orang? Enggak mungkin bisa. Kita kemarin bahkan butuh sekitar lima atau enam orang untuk menangani pasien waktu lagi saat-saat chaos itu,” keluhnya.
Baca Juga: Aksi Tolak RUU TNI di Malang: Massa Peringatkan Ancaman Otoritarianisme
“Di situ enggak ada ruang diskusi, karena kita dituntut untuk langsung mengikuti arahan dari atasan. Kita gak diperbolehkan untuk berpikir. Entah perintah dari atasan itu benar atau enggak, kita kewajibannya adalah melaksanakan, kalau menggunakan pendekatan militerisme,” terang Pramai.
Memilih Tidak Diam dan Ikut Berkontribusi
Perempuan yang sadar akan situasi pun paham, bahwa ia juga ingin sekali berkontribusi dan dirinya memilih untuk menjadi relawan paramedis.
“Aku merasa aku enggak bisa teriak-teriak kayak orang-orang. Aku enggak mau jadi silent majority. Aku mau bermanfaat buat orang lain. Jadi, cara yang bisa aku lakuin apa sekarang? Jadi paramedis,” ujarnya.
Perempuan memohon demonstran agar lebih waspada dan menjaga diri saat turun ke jalan. Karena melihat dari tim paramedis ingin membantu ternyata juga terkena serangan.
“Kita juga semua lari. Jadi tolong kalau kalian mau aksi lagi, tolong jaga diri dengan baik-baik. Terus kalau bisa, motor itu jauh aja dari tempat aksi, takutnya diangkut lagi,” katanya.
Akhir kata, Perempuan juga menambahkan agar masyarakat bersifat objektif dalam pemilihan pasangan calon pemilihan, dan meminta agar masyarakat lebih melek akan politik. Tidak tutup mata atas apa yang telah dialaminya bersama korban aksi lainnya.
“Untuk masyarakat, aku minta teman-teman jangan apatis soal politik. Tolong lebih melek soal kondisi yang terjadi di negara ini sekarang. Apa dampak buat kita? Jangan cuma gara-gara brandingan lucu atau gemes atau kasihan, kalian milih sesuatu yang nanti kiranya bakal ngehancurin kita. Jangan jadi subjektif,” tegasnya.
Editor: Nurul Luthfiyyah
Demo di Malang Demonstrasi Relawan Medis Tolak RUU TNI
Last modified: 26 Maret 2025
Website Scam Penipu Indonesia, bokep xnxx SITUS SEXS