Written by UAPM Inovasi 13:14 Kata Mereka • 6 Comments

Pemilwa UIN Malang; Pil Pahit, Status Quo, dan Kekuasaan Absolute

Suasana Pencoblosan dalam Pemira–sekarang Pemilwa–UIN Malang tahun 2016 (Gema UIN Malang)

Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) merupakan satu momen penting sebagai bentuk implementasi nyata praktik demokrasi dalam kampus. Terdapat fakta menarik yang tahun ini mulai menjadi sorotan dalam pelaksanaan Pemilwa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN Malang), yakni fakta bahwa selalu munculnya kotak kosong yang bersanding melawan para kandidat calon tunggal lembaga eksekutif di UIN Malang.

Kasus calon tunggal dalam Pemilwa UIN Malang bukan baru terjadi sekali dua kali, namun sudah bisa dikatakan menjadi budaya. Tahun ini, budaya calon tunggal mulai disoroti oleh beberapa pihak. Terdapat pihak yang merasa tidak masalah akan calon tunggal, namun tentu juga ada pihak yang tidak nyaman atau kontra terhadap budaya tersebut. Bahkan, muncul kelompok yang mulai mengampanyekan untuk memilih kotak kosong sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap budaya calon tunggal.

Pro dan kontra yang muncul di kalangan mahasiswa ini tentunya akan terus berlanjut. Oleh karena itu, untuk menyikapi pendapat pro dan kontra terkait budaya calon tunggal di Pemilwa UIN Malang, Divisi Redaksi Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi mencoba menilik lebih dalam budaya tersebut dari kacamata akademisi. Kami mewawancarai salah satu dosen program studi Hukum Tata Negara (Hukum Tata Negara) yang fokus pada bidang keilmuan Hukum Pemilu dan Partai Politik, Irham Bashori Hasba, MH, untuk mengetahui pandangannya terkait budaya ini.

Sejauh mana Bapak mengikuti kontestasi Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) UIN Malang 2022?

Saya cukup intens mengikuti giat Pemilwa UIN Malang sejak tahun 2015 di mana saya masuk tahun pertama UIN Malang. Setiap tahun pun saya mengikutinya karena mungkin memang giat ini memiliki ketersambungan dengan bidang keilmuan dan mata kuliah ajar saya yakni “Hukum Pemilu dan Partai Politik” pada prodi HTN Fakultas Syariah.

Terkait kontestasi Pemilwa tahun 2022, saya rasa masih belum ada perubahan yang menonjol dalam bidang pembelajaran politik, terlebih menurut saya pemilwa UIN Malang dalam kacamata saya sangat Eksklusif dan tertutup. Tidak banyak sosialisasi yang dilakukan. (Barangkali karena suasana online ya).

 

Apakah calon tunggal dalam kontestasi pemilihan manapun dapat dinormalkan atau tidak? Sertakan alasannya!

Calon tunggal bisa dilihat dari kondisi setting politik yang ada:

Pertama, tak sedikit calon tunggal terjadi pada kontestasi Pemilihan Kepala Desa (atau sering disebut dengan melawan bumbung kosong). Hal ini sering terjadi karena tidak ada kontestan yang berani mencalonkan diri melawan calon tunggal itu, biasanya calon tunggal Memiliki kinerja bagus dan terlalu disukai oleh masyarakat. Karena aturan yang ada, tak jarang juga disiasati dengan memunculkan calon bayangan (kuda hitam), seperti melawan istrinya agar tidak calon  tunggal. Dalam konteks ini mungkin dapat dikatakan normal.

Kedua, munculnya calon tunggal karena adanya iklim politik sebab budaya politik suatu wilayah yang memang seperti itu. Contoh kontestasi politik di China atau Korea Utara. Di kedua negara ini memang menganut sistem otoritarian dan bahkan diktarorian, sehingga adanya calon tunggal merupakan sebuah kewajaran. Bahkan partai politiknya pun tunggal. Maka calon tunggal di kedua wilayah ini menjadi normal.

Ketiga, calon tunggal juga dapat muncul karena adanya aktivitas politik yang kurang sehat, kurang fair, cenderung monopolitik/oligarkis, dan mempertahankan status quo. Tak sedikit golongan tertentu yang beranggapan bahwa ‘Pokoknya kelompok kita yang menang apapun caranya’, masuk pada kategori ketiga ini. Kondisi ini seringkali membuat kontestasi kurang menarik, kurang fair, kurang sehat dan akhirnya berujung pada sistem kekuasaan absolute layaknya Monarkhi Absolute yang ditentang habis oleh John Locke beberapa abad yang lalu. Maka jika mengamini Lord Acton “Kekuasaan memiliki kecenderungan koruptif, dan kekuasaan absolute dipastikan koruptif (Power Tends to Corrupt, and Absolute Power Corrupts Absolutely)”, tipikal seperti ini sangat tidak dapat dinormalkan artinya kurang baik dan kurang mendidik.

 

Dengan adanya calon tunggal dalam kontestasi pemilihan, apakah ini menandakan kemunduran atau malah sebuah kemajuan laku politik masyarakat, dalam hal ini mahasiswa UIN Malang ?

Pemilwa merupakan pendidikan politik bagi mahasiswa yang sangat bagus untuk diikuti dan menjadi bekal di masa depan jika memiliki berkontestasi dalam dunia politik, terlebih suatu perguruan tinggi memiliki sistem pemilihan dengan adanya Partai Politik Mahasiswa. Namun sayangnya, kebijakan di UIN Malang tidak mengadopsi sistem demikian. Artinya tidak ada parpol mahasiswa yang berkontestasi dalam pemilwa. Sepengetahuan saya, seseorang dapat mencalonkan diri salah satu syaratnya adalah memiliki pengalaman berproses di lembaga mahasiswa tingkat prodi, fakultas dan universitas yang ditandai dengan SK (Surat Keputusan) DEMA, SEMA, DEMA F, dan HMJ sebelumnya.

Di satu sisi, ini menarik karena seorang kontestan harus memiliki pengalaman yang mumpuni. Namun di satu sisi, ini merupakan pil pahit bagi kelompok, golongan, organisasi mahasiswa tertentu yang sebelumnya tidak berkontestasi maka jangan harap akan bisa berkontestasi karena tertutup oleh kelompok, golongan, organisasi mahasiswa tertentu yang ingin mempertahankan Status Quo-nya. Nah pada tahap ini, mungkin saya kategorikan sebagai pilihan ketiga diatas.

Sistem dan mekanisme diatas (yang berlaku di UIN Malang sekarang) sejatinya tidak hanya menutup ruang bagi kelompok, golongan, organisasi mahasiswa tertentu, namun juga sebenarnya berdampak buruk bagi kelompok, golongan, organisasi mahasiswa yang selama ini berkuasa, seperti terciptanya iklim politik internal rezim penguasa yang tidak stabil, kurang siap dan bahkan mudah dikuasai sekelompok orang tertentu tertentu dan dalam kacamata saya “membiakkan oligarkis”, rapuhnya solidaritas mereka, sehingga dalam konteks Pemilwa muncul calon tunggal karena kondisinya memang sudah kurang menarik untuk diikuti.

Sistem dan mekanisme diatas (yang berlaku di UIN Malang sekarang) sejatinya tidak hanya menutup ruang bagi kelompok, golongan, organisasi mahasiswa tertentu, namun juga sebenarnya berdampak buruk bagi kelompok, golongan, organisasi mahasiswa yang selama ini berkuasa”

Irham Basori Hasba, MH.

 

Apa saja kemungkinan dampak calon tunggal dalam kontestasi pemilihan, baik ketika berlangsungnya pemilihan dan pasca pemilihan (ketika ia terpilih)?

Seperti yang saya sebut diatas, kekuasaan absolute sangat mungkin terjadi, maka sangat mungkin ketika terpilih tipikal kepemimpinannya oligarkis. Perlu diingat, Pemilwa merupakan pembelajaran politik, ketika masih belajar sudah belajar oligarkis dan absolute, di masa depan ketika telah benar-benar real berada di jabatan politik di Indonesia potensi tersebut bisa jadi muncul (hemat saya ini dampak jangka panjangnya).

Dampak jangka pendek, jika sistem ini terus berlangsung dan berjalan lama, maka mahasiswa UIN Malang tidak akan percaya lagi dengan pemilwa bahkan tidak akan percaya terhadap organisasi mahasiswa di UIN Malang. Pemilwa juga hanya sebatas ceremony bagi kelompok tertentu akhirnya, dan perlu diingat biaya PEMILWA tentu juga berasal dari dana yang dibayarkan oleh para mahasiswa. Ini yang perlu diperhatikan.

 

…kekuasaan absolute sangat mungkin terjadi, maka sangat mungkin ketika terpilih tipikal kepemimpinannya oligarkis.

Irham Basori Hasba, MH.

Bagaimana seharusnya calon tunggal ini diatur dalam regulasi Pemilwa 2022?

Hemat saya, bukan calon tunggalnya yang perlu diatur. Namun seluruh sistem politik kampusnya yang harus diatur dan dibuat lebih terbuka bagi semua kalangan. Regulasi tentang Pemilwa seyogyanya dirumuskan dalam agenda Musema (Musyawarah Mahasiswa). Maka untuk merubah itu, seharusnya lembaga pers mahasiswa penting menyuarakan hal ini dengan kritis dan lantang. Seharusnya seluruh mahasiswa sudah bergerak bersama menghadiri dan menentukan nasib Pemilwa di Musema dan merubah regulasi yang ada.

 

Bagaimana tanggapan Bapak terkait kelangsungan Pemilwa 2022 tanpa regulasi yang transparan tersebut?

Kurang Baik dan demi pendidikan politik bagi mahasiswa di masa depan, ya harus dibenahi dengan baik dan dengan cara santun tentunya.

 

Terakhir, dari Bapak apakah ada yang perlu disampaikan lagi seputar Calon Tunggal dalam Pemilwa 2022? Jika ada silakan dituliskan

Ketika politik dan hukum berada pada posisi saling berhadapan dan berlawanan, maka selayaknya bagi kita kaum terpelajar untuk menempatkan norma berada tengah-tengah mereka dengan adil dan bijaksana.

(Irham Bashori Hasba, MH)

Belum pernah ada dalam catatan sejarah dunia, Penguasa Tunggal tetap bertahan selamanya. Maka mengubah diri menjadi lebih baik adalah sebuah keniscayaan, sebelum diubah oleh orang lain.

(Irham Bashori Hasba, MH)

Reporter : Faris Rega Riswana dan Wildan Firdausi

(Visited 131 times, 1 visits today)

Last modified: 07 April 2022

Close