Written by Zahrah Salsabillah Ashari 15:09 Cerpen, Sastra

Alan dan Angkasanya

Alan menatap kosong ke arah langit malam yang kini sangat tenang, ia hanya melihat gemerlap bintang malam alih-alih pesawat tempur yang mengerikan. Sesekali ia mendengar deburan ombak yang hangat, tidak ada lagi suara tangisan anak-anak yang memilukan. Setelah menikmati kedamaian malam, ia menatap lembar foto empat kali enam di tangannya, sambil tangan lainnya memegang papan nama bertulisan Antoni J. Banderas. Hari ini tepat sepuluh tahun semenjak Alan menerima kabar tentang kepergian Antoni. Dalam selembar kertas yang Alan pegang, tampak seorang laki-laki dewasa yang mengenakan seragam biru loreng tengah merangkul bahu remaja disebelahnya sambil tersenyum damai ke arah kamera.


“Lihatlah, Letnan Antoni, aku sudah bisa memakai baju sama sepertimu,” ucapnya sendiri sambil menatap dua orang dalam foto itu.


“Kau sendiri yang berjanji akan mengajariku dasar pelatihan supaya aku bisa lolos dan bisa menjadi bagianmu, tapi sekarang, kau bahkan tak bisa memberiku selamat atas ujian kelulusanku,” ucapnya tercekat menahan perih di dadanya, memori yang tak pernah bisa ia lupakan kembali menyerang ingatannya.


Alan masih mengingat dengan baik suasana yang dulu ia rasakan, hari-hari di mana pesawat tempur Angkatan Udara (AU) tengah berjaga di daerah Qeze. Bukan pertama kalinya wilayah Qeze mendapat serangan dari luar, kabar sekelompok WNA yang melewati wilayah perbatasan di daerah Qeze seperti saat ini juga sering terdengar pada waktu-waktu sebelumnya, mengingat Qeze adalah wilayah yang terletak di ujung pulau Syaeriel, yang pastinya mudah bagi orang asing dengan berbagai maksud dan tujuan untuk menerobos masuk ke wilayah Qeze. Sebagian petinggi AU ditemani sejumlah pasukannya turun untuk mengecek kondisi daerah tersebut dan memastikan keadaan masyarakatnya. Mereka mendirikan pos sebagai pusat pertahanan juga sebagai titik kumpul saat terjadi hal-hal yang tak terduga. Pasukan AU menyebar untuk saling memastikan setiap titik yang kemungkinan besar sudah dilampaui oleh WNA tersebut. Setelah hampir 3 jam lebih mereka mencari jejak keberadaan sekelompok WNA itu, mereka akhirnya mendapat laporan dari saksi mata yang melihat sendiri kejadian di mana sekelompok WNA tersebut tengah turun dari sebuah mobil van hitam. Dua orang dari mereka buru-buru menggali tanah dan menanam sesuatu di depan sebuah rumah di jalan Zyevorg, beberapa orang lagi memindahkan tas-tas kedalam rumah, saksi juga melaporkan bahwa ia melihat barang mirip dengan senapan yang mana ujung dari senapan itu muncul dari tas yang dibawa oleh mereka. Setelah mendapat laporan tersebut pasukan AU langsung menuju rumah yang dimaksud saksi.


Tak butuh waktu lama, pasukan AU segera mengamankan rumah tersebut untuk diperiksa lebih lanjut. Dengan sedikit gencatan dari pasukan AU juga petugas lainnya, sekelompok WNA itu mengaku dan menyerahkan diri atas perbuatannya. Mereka membawanya ke kepolisian setempat Bersama bukti-buktinya. Setelah mereka menceritakan kejadian dan memberikan kesaksian-kesaksian yang cukup, Letnan Antoni Bersama pasukan dan saksi kembali ke Qeze.


“Terima kasih untuk laporan dan kesaksiannya, Alan,” ucap Letnan Antoni kepada Alan sambil merangkul pundaknya. Alan mengangguk dan tersenyum senang. Mereka larut dalam percakapan ringan hingga mereka saling cerita tentang dirinya masing-masing, tentang bagaimana Letnan Antoni yang bisa berada sampai titik ini, juga bagaimana Antoni tertarik untuk mempelajari dasar-dasar pengetahuan seputar Angkatan Udara.


“Sebenarnya aku tidak terlalu mengetahui tentang apa itu Angkatan Udara, yang kutahu mereka hanya menghabiskan waktu di atas awan. Tapi setelah melihatmu tadi rasanya aku ingin menjadi sepertimu,” ucap Alan dengan polosnya disambut dengan sedikit tawa dari Letnan Antoni.


“Aku juga ingin merasakan berjuang bersama baju itu, Letnan. Tapi, aku bukanlah orang yang memiliki banyak uang untuk bisa meraih apa yang aku inginkan,” lanjutnya,


“Tunggu di sini,” ucap Letnan lalu pergi ke dalam baraknya.


Letnan Antoni kembali bersama tumpukan buku yang ia peluk menggunakan tangannya. Ia berjalan dengan senyuman hangat dan meletakkan buku itu tepat di samping Alan. “Ini ada beberapa buku yang nantinya kamu butuhkan jika memang kau sangat ingin menggunakan baju ini. Tapi ingat Alan, untuk menjadi pelindung bangsa tidak harus mereka yang memakai seragam, tanpa seragam pun kita tetap bisa menjadi penegak kebenaran seperti yang sudah kamu lakukan hari ini,” Alan mengangguk mengerti lalu menatap buku yang diberikan oleh Letnan Antoni bertuliskan Angkasa.


Seminggu berlalu setelah kejadian itu Letnan Antoni semakin dekat dengan Alan, Alan yang selalu ingin belajar tentang Angkatan Udara diam-diam selalu memperhatikan mereka saat Latihan. Ia mengamati setiap hal yang mereka lakukan dan tak jarang ia mempraktikkan ulang apa yang ia dapat dari mereka. Letnan Antoni yang melihat Alan senantiasa mengamati pasukannya berlatih ikut tersenyum bangga melihat Alan yang ingin sekali melanjutkan jejaknya untuk menjadi sayap pelindung bangsa. Bisa dibilang ia berharap banyak kepadanya supaya kelak bisa menjadi orang yang mempunyai sayap layaknya garuda, berani dan tak pernah melepas tanggung jawabnya dan selalu siap siaga menjalankan tugasnya.


Hari berganti hari, hingga sampai di mana Alan bertemu dengan hari yang tidak pernah ia sadari bahwa itu adalah hari terakhir ia bisa melihat Antoni. “Ke mana kau akan membawa barang-barang itu Letnan?,” tanya Alan melihat Antoni berdiri di depannya sambil membawa beberapa kotak penyimpanan.


“Malam ini Qeze akan dijaga pasukan baru, karena beberapa dari mereka akan pergi untuk berlatih tempur, dan tentunya aku akan mendampingi mereka,” jawab Antoni sambil menunjuk pasukannya yang tengah berlatih.


“Itu artinya kau tidak akan Kembali ke Qeze lagi?,”


“Setelah pelatihan tempurku, aku berjanji untuk Kembali ke Qeze untuk mengajarimu banyak hal lain dan bisa menjaga Qeze dengan sayap kita,” ucap Letnan Antoni sambil menatap mata sayu Alan, berusaha meyakinkannya.


Letnan Antoni meletakkan kotaknya dan beralih memeluk Alan. “kau sudah aku anggap seperti adik sendiri, jadi berjanjilah padaku ada tiadanya aku kau tidak akan menyerah atas apa yang sudah kau impikan sekarang.”


Itulah ucapan terakhirnya pada Alan sebelum akhirnya ia benar-benar mendapatkan kabar tentang Letnan Antoni untuk yang terakhir kalinya. Pada dasarnya kata hangat kala itu hanya untuk meyakinkan kita, bukan kepastian yang bisa kita percaya. Selebihnya kita hanyalah manusia lemah dengan tanggungjawab untuk melindungi orang yang sudah seharusnya dilindungi. Dari angkasa kita tau bahwa sejauh apapun kita terbang tempat kembali tetaplah tanah, tapi angkasa tak akan menutup mata untuk orang yang gugur dalam berjuang demi negerinya. Alan menatap kembali langit malam yang menemaninya, ia tidak akan pernah lupa bahwa di dalam seluruh kedamaian yang ia rasakan kini selalu hidup satu nama, satu nama yang abadi, Antoni J. Banderas. []


Editor : Faris Rega Riswana

Ilustrasi : Mohamad Rizaldy P. A. P

(Visited 114 times, 1 visits today)

Last modified: 12 Agustus 2022

Close