Written by Wahyu Agung Prasetyo 12:15 Kata Mereka • 141 Comments

Muhammad Iqbal: Kamu Berada di Pihak yang Mana?

Kamis, 12 April 2018, pukul 13.25 WIB, terjadi kericuhan ketika warga Tamansari, Bandung melakukan Aksi Penolakan Rumah Deret, di depan gerbang Kantor Wali Kota Bandung. Aparat polisi melakukan tindakan represif, seperti pemukulan, kepada beberapa massa aksi. Beberapa pelajar dan mahasiswa menjadi korban pemukulan dalam aksi tersebut.

Menurut Press Release Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka UIN Sunan Gunung Djati Bandung, salah satu korban kekerasan aparat polisi saat itu yakni Muhammad Iqbal, anggota LPM Suaka. Iqbal mendapatkan intimidasi dan pukulan di wajah, setelah seorang polisi mengetahui bahwa Iqbal memotret tindak kekerasan yang dilakukan beberapa aparat polisi terhadap massa aksi.

Atas kejadian ini, Aliansi Mahasiswa Penolak Rumah Deret, Tim Advokasi Jurnalis Independen Bandung, serta Solidaritas Pers Mahasiswa se-Indonesia menuntut Kepolisian Republik Indonesia untuk mengusut kasus kekerasan terhadap masyarakat sipil serta menghormati dan melindungi hak publik untuk menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi. Beberapa daerah di Inonesia pun memberikan pernyataan sikap terhadap peristiwa kekerasan aparat terhadap warga dan jurnalis ini. Pernyataan sikap itu disampaikan dalam Aksi Kamisan pada kamis 19 April 2018 di beberapa daerah seperti Bandung, Malang, Semarang, dan Makassar. Pada waktu yang sama, jurnalis Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Wahyu Agung Prasetyo (WAP) mewancarai Muhammad Iqbal (MI) melalui aplikasi berbalas pesan untuk mengetahui siapa sebenarnya sosok Iqbal, serta mengetahui seperti apa pandangannya tentang tindak kekerasan aparat polisi?

WAP :Pertama-tama, siapa Iqbal itu? Asal mana? Kuliah jurusan apa? Tujuan kuliahnya itu apa? Dan kenapa milih untuk menjadi seorang pers mahasiswa?

MI     :Saya Muhammad Iqbal, asal Kota Cimahi, usia 21 tahun. Kuliah di jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Tujuan kuliahku, pada awalnya adalah untuk nantinya pengabdianku pada rumah, pada kampung, gak ada tujuan yang terlalu besar, kecil aja hehe. Terus kalo ditanya siapa aku? Aku bingung, cuman bagiku menjadi seorang pendengar yang baik maka tiap orang bisa mendegarkanku dengan baik pula.

Kenapa menjadi seorang pers mahasiswa? Ini pertanyaan susah sebenarnya. Aku pada awalnya tidak memiliki skill apapun, hanya tergerak keingintahuan, dan berusaha untuk terus bertahan dari godaan berhenti. Orang tuaku pernah marah karena aku sering pulang larut malam, karena kegiatan di Suaka. Tapi di situ aku bilang pada mamahku, “Mah ini jalan Aa (kakak), dan cita-cita Aa sekarang, ingin menjadi wartawan.”

Sempat beberapa bulan selanjutnya mamahku bilang, “A, yaudah pindah jurusan aja ke jurnalistik.” Aku bilang, “Mah gak usah, yang jadi wartawan di luar juga kebanyakan bukan dari jurnalistik saja, siapa tau aku anak politik bisa liputan politik lebih ngerti dari anak jurnalistik lain.” Gitu. Hehe gj ya, wkwk.

Cuman aku ingat satu yang membuat aku berani saat ini. Sindhunata, wartawan Kompas penulis feature, pernah bilang, dia pernah melakukan suatu peliputan soal buruh yang tak mendapatkan haknya, dan dia tak pernah mengatakan bahwa dia dari pers, tapi dia ingin membantu. Bagiku itu satu nilai yang kupegang saat ini, bahwa pers pada dasarnya adalah membantu. Kala kita ingin memperoleh suatu tulisan yang bagus, maka niatkan untuk membantu, bukan hanya menyeru. Meskipun begitu, belum total aku melaksanakan itu, masih ada saja pergolakan di pikiran tuh. Sidikit kurang wajar juga bagiku. Hehe.

WAP :Nah, setelah Iqbal masuk kampus, belajar, berdiskusi dan berorganisasi, bagaimana tanggapan Iqbal melihat kasus agraria di Indonesia (khususnya Tamansari) dan tanggapan Iqbal ketika polisi digunakan sebagai alat untuk melakukan kekerasan kepada masyarakat?

MI  :Banyak yang lebih detail sebenarnya, tapi sedikit pandanganku. Untuk kasus Tamansari, amat mengkhawatirkan. Ini menjadi preseden yang buruk bagi pemkot Bandung, yang mengagungkan sebagai kota ramah HAM, tapi pada nyatanya tidak. Banyak warga Tamansari tidak jelas nasibnya, dan hak untuk mendapatkan informasi saja sangat sulit. Lalu izin lingkungan, mau ada izin lingkungan atau Amdal gimana orang, belum ada tuh sosialisasi yang benar dan pelibatan masyarakat yang benar. Bagiku kasus Tamansari amat menjadi preseden yang buruk. Dan warga yang masih bertahan, sangat ingin pemerintah mengambil kebijakan yang tegas. Karena selama ini warga Tamansari dibolapimpongkan oleh pemkot. Kalau warga bakal terus berjuang selagi ada tekad dan solidaritas dari semua kalangan kurasa.

Jujur saja, temenku ada yang polisi dan tentara dan aku masih menghargai mereka sebagai kawan. Bagiku polisi yanag melakukan kekerasan adalah perlakuan salah. Seharusnya mengayomi, malah memukuli. Amat disayangkan. Dan mereka sudah melangggar etik mereka sebagai polisi, yang katanya jangan main hakim sendiri, malah dia yang menjadi hakim untuk diri sendiri, dan  mencederai orang lain.

WAP     :Preseden itu apa?

MI       :Preseden /pré-sé-dén/ 1. Nomina hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dapat dipakai sebagai contoh: inilah saatnya menciptakan langkah-langkah yang adil sebagai ~ untuk masa depan

WAP     :Pernah bahas soal kekerasan sama teman polisi atau tentaramu itu?

MI          :Belum pernah sih, cuman mereka prihatin atas kejadian kemarin.

WAP    :Oohh…Lalu, ketika yang berjuang itu kebanyakan warga dan mahasiswa, apa kampus sebagai pemegang amanah Tri Dharma Perguruan Tinggi juga berjuang, atau setidaknya mengambil sikap?

MI     :Aduh, kampus ya, sejauh ini sih kurang mereka mengambil sikap. Malah mereka yang menahan mahasiswanya buat progresif, banyak kasus di Bandung. Dari anak perpus jalanan di Telkom yang mau di DO gara-gara ada buku kiri. Ah, aneh aja.

WAP    :Ketika kampus malah seperti itu. Bagi Iqbal dan temen-temen, apa sih yang sebenarnya menjadi hal penting untuk membela warga dan mereka yang tertindas?

MI         :Aku sebenernya baru beberapa kali ini ikut liputan di sana, dan aku pernah bertanya ke diri sendiri sih, apa yang bisa aku bantu? Dan posisiku sebagai jurnalis, ya bantuanku ya meliput, membuat liputan dan foto, dan sebagainya. Dan ada kejadian ini, aku tak berharap apa-apa lagi, aku dalam hati berharap semoga dengan kasus yang kualami, bisa mambantu juga pada warga Tamansari. Setidakanya perhatian orang lain dan media bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di Tamansari.

WAP      :Ohh…kalau Iqbal melihat diri sendiri, kampus dan aparat yang seperti itu. Sebenarnya masih ada harapan gak sih, sama mereka (kampus, polisi, hukum, negara) untuk menyelesaikan masalah ini?

MI         :Susah bro pertanyaannya, ya pastilah harapan mah ada buat mereka, setidaknya sikap yang mendukung perjuangan rakyat.

WAP   :Apa yang akan Iqbal lakukan setelah mulai hari ini?

MI       :Kasus yang aku apa yang mana nih?

WAP   :Iya terkait kasusmu, sama kasus agraria di Tamansari.

MI      :Aku sih baru bikin laporan ke Polrestabes Bandung, lalu visum dan sekarang menunggu hasil visum dan rencana ke depan belum.ada sebenarnya.

Kalo Tamansari, karena sekarang masih rame kasus kemarin, aku ikut dalam setiap kegiatan konferensi pers mereka, dan menceritakan kronologi kejadian, dan aku kayaknya bakal tetap meliput di sana.

WAP   :Ada kata-kata mutiara dari kamu? Mungkin untuk ngasih semangat temen-temen yang ada di daerah lain?

MI       :Bentar, mikir dulu.

WAP   :Hahah…baiklah.

MI      :Kupikir, ini yang selama ini menghantui aku, kamu berada di pihak yang mana? Kurasa persma haruslah memihak pada hati nuraninya. Apa yang menyentuh hati nuranimu, maka berpihaklah pada itu.

(Visited 49 times, 1 visits today)

Last modified: 23 September 2018

Close