Written by fatichatul azekiyah syafridah 09:34 Artikel, Esai, Nasional

Si Tukang Bohong dan Si Penyebar Hoaks

Ibarat virus yang mempengaruhi lingkungan sekitar, tidak aneh ketika setiap hal yang dilakukan oleh pemimpin akan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang dipimpin. Ibarat kepala dari sebuah badan, pemimpin adalah otak yang mengatur setiap kegiatan yang dilakukan oleh anggota badan yang lain. Maka pemimpin dituntut untuk cerdas dalam setiap keputusan yang diambil. Lebih dari itu, keadilan dan kejujuran harus ada dalam setiap jiwa pemimpin, agar tidak pincang setiap kebijakan yang dikeluarkannya.

Kejujuran adalah satu hal yang krusial dalam jiwa-jiwa pemimpin saat ini. Kejujuran seorang pemimpin akan menjadi lebih urgent daripada rakyatnya, karena kejujuran seorang pemimpin akan berpengaruh langsung terhadap setiap setiap kebijakan yang diambil. Maka masyarakat milenial hendaknya mulai mempertimbangkan aspek kejujuran dalam memilih calon pemimpin.

“Kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan,” ujar Thomas Jefferson. Indonesia saat ini sedang berada dalam nuansa politik pemilihan kepala Negara. Nilai kejujuran setiap calon pemimpin sepertinya mulai hangat diperbincangkan. Milenial yang rindu dengan pemimpin jujur mulai muak dengan janji-janji yang tidak terealisasi, kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan, hingga setiap kerugian keuangan negara yang dicuri oleh para perut buncit yang tamak akan harta.

Menjelang pemilu presiden, Indonesia semakin krisis nilai kejujuran dari masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sebut saja pasangan Jokowi-Ma’ruf yang tercatat oleh media telah melakukan banyak kebohongan. Seperti yang di lansir dari kabar24.bisnis.com dalam tulisan berjudul Dituding dengan 10 Kebohongan Jokowi, Begini Penjelasan TKN Jokowi-Ma’ruf, Dr.Muhammad Said Didu selaku Sekretaris Kementerian BUMN periode 2005-2010 dan Staf Khusus Menteri ESDM 2014-2016 mencatat ada 10 kebohongan yang disampaikan Jokowi  dalam debat capres 2019 putaran II. Ia merinci kebohongan-kebohongan tersebut antara lain:

  1. Tahun 2018 total impor jagung 180.000 ton, padahal data impor jagung tahun 2018 sebesar 737.228 ton.
  2. Produksi sawit 46 juta ton. Faktanya produksi sawit tahun 2018 sebesar 34,5 juta ton.
  3. Total produksi beras tahun 2018 sebesar 33 juta ton dan total konsumsi 29 juta ton. Konsumsi beras nasional 2018 sebesar 33 juta ton dan data produksi plus impor sebesar 46,5 juta ton.
  4. Jokowi menyatakan telah membangun lebih dari 191.000 km jalan desa, padahal itu adalah total jalan desa yang dibangun sejak Indonesia merdeka.
  5. Jokowi menyatakan bahwa kolam bekas galian tambang sebagian telah dialih-fungsikan di antaranya untuk kolam. Padahal, berbagai literature menunjukkan bahwa area bekas tambang tidak bisa digunakan untuk apapun, karena terpapar radiasi, itu kolam di daerah tambang yang mana? Bisa tunjukkan?
  6. Jokowi menyatakan telah membangun infrastruktur internet jaringan 4G 100 persen di barat, 100% di tengah dan 90% di timur. Padahal, data menunjukkan kurang dari 20% kabupaten dan kota bisa mengakses signal 4G.
  7. Akses internet sudah sampai ke desa-desa, banyak produk pertanian memiliki market place sehingga mendapat harga yang bagus karena memotong rantai. Itu dapat informasi dari mana dan dari siapa? Karena dari keseluruhan market place online produk pertanian kurang dari 1% dan sisanya 99% offline.
  8. Jokowi mengklaim bahwa pemerintah memenangkan gugatan Rp18-Rp19 triliun akibat kerusakan lahan, namun Greenpeace meluruskan bahwa tak satupun dari gugatan itu dibayarkan.
  9. Jokowi menyatakan bahwa di negara maju butuh 10-20 tahun untuk memindahkan masyarakat dari mobil ke LRT/MRT, bisa disebutkan itu di negara mana? Jika butuh 10-20 tahun dan pembiayaan dengan hutang bagaimana status pembayarannya? Kapan BEP?
  10. Presiden menyatakan sejak 2015 tidak pernah terjadi kebakaran hutan, padahal data menunjukkan bahwa pada tahun 2016-2018 telah terjadi kebakaran lebih dari 30.000 hektar lahan.

Selain itu, masih ada juga beberapa kebohongan-kebohongan yang dilakukan Jokowi. Salah satu kebohongan yang sedang hangat dibicarakan adalah kebohongan Jokowi yang mengklaim tidak ada konflik agrarian di masa kepemimpinannya. Padahal, data terakhir Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada 2018 mencatat luas wilayah yang mengalami konflik agrarian mencapai 807,17 ribu hektar. Luasan konflik tersebut meningkat dari tahun sebelumnya sekitar 520,49 ribu hektar pada 2017.

Konflik agrarian didominasi oleh latar belakang perebutan lahan di sektor perkebunan sebanyak 65,66 ribu hektar, kehutanan 54,06 ribu hektar, pertambangan 49,69 ribu hektar, properti 13 ribu hektar, dan infrastruktur 4.859 hektar. Alih-alih meminta maaf karena kebohongannya, pihak Jokowi-Ma’ruf malah mengatakan bahwa terjadi kesalahan data dalam penyampaiannya. Wah, menariknya sosok pemimpin di era milenial ini.

Jika pasangan Jokowi-Ma’ruf terbukti melakukan banyak kebohongan, lain halnya dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya Prabowo-Sandiaga. Pasangan ini justru lebih banyak menyebarkan berita kebohongan alias berita hoaks.

Dilansir dari news.detik.com, dalam tulisan berjudul Kontroversi Prabowo Sebut Indoneisa Bisa Punah, pernyatan hoaks pertama yang disampaikan Prabowo yaitu Indonesia bisa punah jika dia kalah di Pilpres 2019. Soal pernyataan Indonesia bakal punah, disampaikan Prabowo dalam Konferensi Nasional Partai Gerindra, Senin (17/12). Prabowo mengatakan, jika keinginan rakyat untuk memiliki pemimpin baru tak terwujud, Indonesia bisa punah.

Kedua, mengabarkan kepada masyarakat bahwa salah seorang anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Ratna Sarumpaet telah dipukuli oleh tiga orang tidak dikenal. Begitu seriusnya Prabowo menyebarkan hoaks Ratna, sampai menggelar konferensi pers. Prabowo meyakinkan masyarakat Indonesia, bahwa ada motif politik di balik penganiayaan terhadap Ratna tersebut.

Pernyataan hoaks Prabowo selanjutnya, yakni mengklaim 99 persen rakyat Indonesia hidup pas-pasan. Data tersebut ia dapatkan dari Bank Dunia. Padahal Bank Dunia tidak pernah merilis data seperti itu.

Sementara di penghujung tahun 2018 ini, Prabowo juga sempat menakut-nakuti pasien cuci darah beserta keluarganya, dengan kebohongan satu selang cuci darah dipakai oleh 40 orang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Padahal menurut pihak RSCM, satu selang cuci darah dipakai untuk satu orang.

Ada pula isu hoaks yang disuguhkan oleh politikus Partai Demokrat yang tergabung dalam koalisi Prabowo-Sandi, Andi Arief. Wasekjen Partai Demokrat itu disebut telah melakukan kebohongan isu tujuh container surat suara yang sudah tercoblos. Namun ketika di cek KPU, hal tersebut adalah isu hoaks yang dibuat oleh pihak Prabowo-Sandi.

Entah karena kekurangan gagasan atau visi-misi yang tidak jelas, perbuatan yang dilakukan pasangan calon tersebut tentunya tidak bisa dibenarkan. Ambisi kemenangan jelas terlihat dari masing-masing calon. Tujuan pemimpin untuk menyejahterakan rakyat kini mulai terusik dengan kehausan akan kekuasaan.

Satu paslon tukang bohong, yang satu lagi suka menyebar bohong. Sungguh kombinasi perpolitikan yang menarik. Lalu, apakah masih berlaku semboyan pemilu “satu suara rakyat yang bisa mengubah Indonesia kedepannya” jika pemimpin tak lagi berorientasi rakyat?[]

(Visited 64 times, 1 visits today)

Last modified: 15 Maret 2019

Close