Written by Zahrah Salsabillah Ashari 11:15 Cerpen, Sastra

Jadilah Obat untuk Bumi Kita

Suasana bandara yang ramai di pagi hari memenuhi kebisingan dalam kepala Bella, seorang gadis belia yang sebentar lagi akan meninggalkan kota tempatnya tinggal. Kota di mana setiap pagi ia selalu melihat keramaian sekaligus kemegahan. Bella sempat bertanta-tanya, bagaimana keadaan desa yang nanti akan ia singgahi, tentu tidak akan seramai Jakarta, namun mungkin tidak kalah megah dengan caranya sendiri. Di sampingnya, berdiri dua sosok paruh baya yang dengan hangat tersenyum melepas anak semata wayangnya yang akan pergi ke pelosok negeri selama beberapa waktu untuk menuntaskan salah satu program studi dari kampusnya.


Dua minggu yang lalu Bella mendengar informasi bahwa mahasiswa semester 5 akan menjalankan studi kasus, mahasiswa dibebaskan untuk mengajukan wilayah yang akan dituju. Bella yang saat itu telah habis membaca sebuah berita yang mana dalam berita itu menggambarkan tentang daerah AB yang telah rusak akibat dampak dari PLTF yang di bangun di wilayah desa AB empat tahun yang lalu. Melihat dukungan-dukungan masyarakat pada komentar kasus itu, untuk mengirimkan bantuan berupa bahan pokok atau jasa yang setidaknya dibutuhkan disana. Setelah menimbang Bersama teman-temannya, Bella mengajukan kasus tentang desa tersebut sebagai tujuannya, tak butuh waktu lama pihak kampus langsung meng-iyakan ide mereka.


“Mah, Pah, Bella berangkat dulu, ya” ucap gadis itu disambung dengan mencium pipi kedua orang tuanya. Bella melangkah menjauh menyusuri ruangan demi ruangan. Ia menunjukkan tiketnya kepada penjaga, lalu diarahkannya untuk mencetak boarding pass. Setelah Bella siap mengurus tiketnya ia dipersilahkan untuk memasuki pesawt, tak lama pesawatnya pun take off. Ia memposisikan duduknya senyaman mungkin sambil membaca kertas yang berisi tugas-tugasnya yang akan ia lakukan saat tiba nanti. Bella menikmati perjalanannya, sesekali ia menoleh ke jendela disampingnya memandangi lautan yang sangat indah jika dilihat dari atas. “Ternyata bumiku jauh lebih indah dari apa yang kubayangkan, tapi mengapa sedikit orang yang bisa menjaga keindahan itu,” Gumamnya. Perlahan ia memejamkan matanya dan tertidur setelah puas memandangi keadaan bawah langit.


Sayup-sayup gadis itu terbangun mendengar informasi dari pramugari bahwa sebentar lagi pesawatnya akan landing. Ia melihat ke arah jendela, menampakkan langit yang sudah mulai jingga. Bella menatap jendala sedikit lama, ia sangat menyukai langit sore entah karena banyak kenangan yang indah kala itu atau hanya karena ia memang terlahir dengan hati yang terpaut pada langit sore. “Indah sekali, aku yakin semua orang menyukainya,” batinnya. Ia segera memalingkan pandangannya, sebelum ia terlarut keindahan yang terlalu indah untuk diabaikan, lalu ia membenahkan posisi duduknya dan merapikan barang-barang disekitarnya.


Gadis itu tengah duduk di ruang tunggu sambil menunggu teman-temannya karena mereka masih akan menempuh 2 jam lagi untuk sampai ke desa AB. Tiba-tiba dari arah berlawanan ada seorang wanita yang melambai padanya. “Bella,” panggilnya sambil berjalan kearah Bella. Ia menoleh ke arah surara itu, Bella tersenyum dan dibalasnya dengan lambaian.


“yuk, ke bus, yang lain dah pada nunggu,” ujar gadis tersebut.


“ku kira aku yang pertama,” ucap Bella sambil sedikit tertawa disambung veli. “aku tak melihatmu selama di pesawat,” ucap Bella lagi.


“iya, aku dan yang lainnya mendapat kursi di belakang,” balas veli.


Dua jam berlalu, mereka telah sampai di desa AB. Karena langit sudah gelap, mereka pun langsung ditunjukkan ke tempat istirahat mereka, yakni di balai desa. Sepanjang perjalanan menuju balai desa terlihat rumah-rumah disekitar yang hampir tak layak huni. Bahkan seluruh bagian rumahnya hanya terbuat dari kayu yang dianyam. Gadis itu membayangkan bagaimana dinginnya dibalik dinding itu.


Pada pagi harinya, Bella dan teman-temannya langsung mengerjakan tugas yang telah dibagi. 


Pertama mereka harus pergi ke rumah tetangga yang telah ditetapkan. Bella menuju ke sebuah rumah yang mana hanya berjarak sekitar lima rumah dari balai desa. Di sana ia disambut dengan seorang gadis yang tingginya hampir sama dengannya. Ia memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuannya, tujuan Bella disambut hangat oleh gadis itu.


“Jika kamu butuh bantuan, bilang saja, aku siap membantu,” ucap gadis itu.


“Baiklah, terima kasih banyak,” jawab Bella sambil tersenyum. Nara mengangguk dan membalas senyum Bella.


“Kalau begitu bagaimana jika dengan berkeliling desa?,” Berhubung tugas selanjutnya yaitu mengamati langsung kondisi sekitar, Bella langsung mengajak Nara untuk menemaninya, Nara pun dengan semangat mengangguk pertanda setuju.


Selama perjalanan, Nara menceritakan sedikit hal tentang dirinya. Tentang bagaimana dia di masa kecilnya hingga bertambah umurnya yang seiring dengan perubahan-perubahan desanya. Ia bercerita tentang bagaimana saat desa ini sulit mencari listrik, hingga suatu saat kepala desa mengumumkan untuk pembangunan PLTF di wilayah desanya. Para warga cukup senang mendengar berita itu, karena mereka sudah tak perlu susah payah mencari listrik yang jauh dari desanya, tetapi karena minimnya sosialisi tentang pembangunan itu, sehingga mereka sama sekali tak mengetahui dampak dari pembangunan itu.


“Dulu desa kami memang kesulitan dalam masalah listrik, saat itu kita membutuhkan listrik untuk penerangan jalan di malam hari, karena dengan jalan kami yang masih berbatu ini menyebabkan banyak orang hampir tergelincir karena tak adanya penerangan tersebut. Tetapi setelah PLTF itu berdiri banyak kerugian-kerugian yang terjadi di desa. Seperti satu-satunya sumber daya yang desa kami miliki berasal dari laut, dahulu ekosistem laut masih sangat terjaga sehingga kami tetap bisa memakan hasil tangkapan kami, dan sebagai hasilnya bisa dijual danupahnya bisa dibelikan untuk kebutuhan yang lain. Sekarang pun harga minyak meningkat, sedangkan pemasukan kami menurun. Semenjak itu pula, bapakku jarang membawa ikan meski sudah seharian berada di laut, yang pada akhirnya kami pun makan seadanya,”


“Ya bagaimana kita bisa tau dampaknya, sedangkan pemikiran warga tentang PLTF saja tidak ada,” sambungnya dengan nada menyesal.


“Apa kepala desa disini sudah mendengar keluh kesah warganya?,” tanya Bella penasaran.


“Sebelumnya kami para warga sudah mengajukan keluhan, tetapi sampai sekarang belum ada Tindakan atas itu,”


Setelah seharian berkeliling desa, Bella dan teman-temannya mengundang kepala desa AB untuk ikut berkumpul, membahas tentang pengamatan mereka hari itu. Diskusi dibuka dengan Bella Bersama timnya meminta kepala desa untuk lebih peduli dengan warganya, mereka juga meminta izin untuk bertemu bagian pengurus PLTF untuk menyampaikan keluhan warga setempat. Setelah berdiskusi lebih lanjut antara kepala desa dan tim studi kasus, akhirnya kepala desa menyetujui rencana mereka. Diakhiri dengan mereka menyusun hal-hal untuk menghadap pengurus PLTF besok.


Sudah tiga hari berlalu setelah pengajuan keluhan warga setempat kepada pengurus PLTF, tapi juga belum ada tanda-tanda mereka akan memberikan feedback. Selagi menunggu keputusan dari pemerintah, kepala desa dan tim studi kasus memikirkan cara agar warga bisa membantu untuk mencegah dampak PLTF itu lebih luas. Mereka memutuskan untuk mengadakan sosialisasi dengan warga tentang hal yang tengah terjadi di desa mereka. Mereka menjelaskan sedikit tentang PLTF dan apa dampaknya pada wilayah sekitarnya, tampak wajah lusut mereka setelah memahami apa yang terjadi pada desa mereka.


“Tiga hari yang lalu kepala desa Bersama kami telah mengajukan keluhan warga sekalian kepada pengurus PLTF, akan tetapi sampai hari ini belum ada keputusan dari sana. Jadi setelah kami lihat-lihat sekitar, ternyata kita juga bisa mencegah dampak ini agar tidak lebih luas lagi. Ada beberapa cara yang mudah dilakukan oleh kita, yaitu dengan tidak boros menggunakan listrik juga menghijaukan Kembali lahan-lahan yang sudah mati,” jelas Bella kepada warga mewakili hasil diskusi tadi pagi. Tak menunggu waktu lama, warga pun menyetujui ajakan Bella dan mereka menentukan hari untuk memulai bergotong royong untuk menghijaukan kembali desa mereka. 


Jangan takut bersuara, jika suaramu tak didengar maka mulailah dari hal kecil yang bisa kita lakukan untuk hal itu. []

(Visited 48 times, 1 visits today)

Last modified: 21 Juli 2022

Close