Written by Syams Shobahizzaman 12:54 Cerpen, Sastra

Luka Lama

IA memesan segelas kopi susu dan mengambil dua bungkus kacang di meja kasir. Pelayan di balik meja itu segera mencatat pesananannya. Setelah merogoh beberapa lembar uang untuk membayarnya, ia lalu beranjak naik ke lantai dua. Seorang perempuan di meja nomor dua paling ujung menengok ke arahnya, perempuan itu sudah tiba lebih dulu. Perempuan itu mempersilakannya duduk. Sekarang, mereka berdua duduk saling berhadapan di siang hari.

 

Di lantai dua itu tidak ada pengunjung selain  mereka. Suara yang mereka dengar hanya lantunan lagu-lagu barat yang selalu terputar di tempat itu. Ia merogoh saku, mengeluarkan sebungkus rokok dan menyalakannya sebatang. Sembari menikmati kepulan asap rokok, ia mendengar satu lagu yang kesukaannya diputar, location unknown. Lagu itu abadi di dalam benaknya. Saat ini, kapanpun ia menyanyikannya, ingatannya akan selalu surut ke suatu malam di mana ia duduk di teras rumah menuliskan cerita untuk kekasihnya.

 

Hingga lagu itu selesai diputar keheningan tetap menjelma di antara ia dan perempuan di sampingnya, tidak ada yang memulai percakapan di antara mereka. Hingga seorang pelayan datang mengantarkan kopi susu pesanannya lalu pergi.

 

“Bisa bicara sebentar?” Perempuan itu akhirnya memulai percakapan.

“Silakan,” sahutnya.

“Sudah beberapa waktu aku memikirkan ini. Aku tahu cepat atau lambat aku pasti menyampaikannya kepadamu.”

“Sampaikanlah. Kalau kau ada masalah, aku orang pertama yang mendengarkanmu. Aku tak ingin kau punya masalah dengan orang lain,” kata lelaki itu. Suaranya terdengar agak serak.

“Aku juga tak ingin. Tapi setiap orang hidup pasti punya masalah dan aku tidak mau menjadi orang yang lari dari masalah. Sudah kuceritakan banyak hal kepadamu tentang bagaimana masalah demi masalah datang kepadaku dan bagaimana aku sendirian menghadapi semuanya.”

“Maksudmu?”

“Ya, selama ini aku merasa sendirian menghadapi semuanya. Kau tidak pernah ada di saat aku punya masalah. Kau sibuk dengan masalahmu sendiri.”

 

Ia menyimak semua ucapan perempuan itu, tetapi tidak dapat menduga ke mana arah pembicaraannya. Pikirannya tidak dapat menangkap apapun karena suasana yang mulai ramai dari sebelumnya. Satu demi satu pengunjung mulai berdatangan. Area parkir mulai padat ditempati motor para pengunjung yang sebagian besar masih muda itu. Beberapa pengunjung menempati meja yang masih kosong di lantai dua. Mereka kini tidak lagi sendirian.

 

“Pekerjaanmu lancar?” tanyanya.

“Lancar, makanya kau masih bisa melihat motor biru itu terparkir di sana.”

“Syukurlah, aku senang melihatnya, kau merawatnya dengan baik.”

“Motor itu cicilannya masih lama, makanya aku harus terus bekerja supaya bisa membayarnya tiap bulan,” jelas perempuan itu.

 

Ia ingat bagaimana saat perempuan itu menyampaikan keinginannya membeli motor. Demi motor biru yang kini terparkir, perempuan itu harus bersusah payah menabung gajinya untuk membayar uang muka. Karenanya, setiap hari ia harus mengantar perempuan itu ke pabrik tempat mereka bekerja menggunakan sepeda motor yang ia sewa. Saat itu, mereka masih kerja di tempat yang sama.

 

Pabrik tempat mereka bekerja sebelumnya terletak tidak jauh dari indekos perempuan itu. Beberapa bulan setelah si perempuan berhasil membeli motor, Ia keluar dari pekerjaan itu meninggalkan perempuannya bekerja sendirian di pabrik yang sama hingga sekarang.

 

“Jadi apa yang sebenarnya hendak kau sampaikan?”

 

Perempuan itu mengangkat minumannya dan meminumnya dengan perlahan. Perempuan itu lalu membuka sebungkus kacang dan memakannya hingga tersisa setengah. Ia, si lelaki melolos lagi sebatang dan mengisapnya kuat-kuat. Kini, suasana di meja itu lebih tegang dari sebelumnya. Perempuan itu baru bicara lagi setelah menaruh minumannya kembali.

 

“Kurasa lebih baik kita berpisah saja,” kata perempuan itu. Wajahnya tertunduk, matanya menatap lantai ketika berbicara.

“Seringan itu kau menyampaikannya?” jawabnya.

 

Sungguh, ia tak pernah bisa memahami perasaan perempuan itu. Sama sekali tidak ringan bagi perempuan itu untuk mengucapkan kalimat tadi. Perempuan itu sudah menyiapkan diri cukup lama dan berusaha sangat keras untuk tetap tenang saat menyampaikannya. Selama berbulan-bulan sebelum akhirnya perempuan itu bisa bicara, sesungguhnya sudah berkali-kali perempuan itu menetapkan hati untuk menyampaikannya, namun berkali-kali pula niatnya terurung. Seperti tak pernah ada waktu yang tepat untuk sebuah kalimat yang singkat saja: kita bubar.

 

“Aku tak bisa mencintaimu lagi,” lanjut perempuan itu.

“Lalu?” tanyanya.

“Kupikir lebih baik kita berpisah.”

 

“Aku ragu untuk melanjutkan hubungan ini. Setelah semuanya terjadi, aku semakin merasa takut. Bayangkan, jika nanti kita sudah menikah dan punya anak, kamu tiba-tiba menghadapi masalah yang sama dan kemudian berdiam diri seperti ini. Aku bakalan kerepotan mengurus semuanya sekaligus. sibuk kerja, sibuk urusan dapur, belum lagi urusan anak, dan ditambah harus mengurusmu!” kata perempuan itu. Suaranya  terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.

 

“Tapi, bukankah aku selalu bisa menemukan kesembuhanku sendiri di setiap aku jatuh sakit? Tidakkah kau bisa melihat itu?” tanyanya.

“Aku memang sering begini. Sakit, lalu berdiam diri beberapa hari. Tapi hal penting yang masih aku miliki, aku bisa mengendalikan kehendak untuk melanjutkan hidup. Tak pernah sekalipun aku berpikir mencoba bunuh diri!” lanjutnya. Ia kemudian mematikan bara rokoknya di asbak.

 

“Kau tahu, aku sedang mengalami rasa sakit yang luar biasa. Aku tak pernah menginginkannya datang. Semua terjadi begitu cepat dan tidak tepat waktu. Rasa sakit yang aku alami ini mungkin hanyalah sisa-sisa luka lama, mungkin juga lebih parah. Tapi yang jelas, aku punya pengalaman buruk dengan kekerasan fisik dan verbal. Ayahku yang pada level kesadarannya dulu, memberikan itu padaku. Secara langsung maupun tidak. Tapi, tepat setahun yang lalu aku sungguh sudah memaafkannya. Aku benar-benar tidak lagi memendam dendam padanya. Aku sendiri yang memutuskan itu. Bukan orang lain. Dengan sadar dan sehat, setelah bertahun lamanya dendam itu kusimpan sendiri. Aku melalui hari-hari setelahnya dengan gembira. Setelah memaafkannya. Aku sudah punya keberanian mengobrol berjam-jam dengannya. Menanyakan kabar tentang pekerjaannya, dan sebagainya. Sesuatu yang sebelumnya terasa mustahil aku lakukan.”

 

“Tapi semua itu bukan berarti lukaku kemudian hilang, lenyap tanpa sisa. Luka itu sepertinya akan terus ada dan kapanpun ia bisa kembali kambuh jika sesuatu dengan tidak sengaja menyinggungnya. Dengan begitu, aku harus menghindari dua hal, yaitu kekerasan fisik dan verbal. Itulah batasanku. Luka yang ada dalam diriku hanya mengalami penurunan rasa sakitnya. Hanya itu. Kian hari, kian banyak kejadian yang bergesekan dengannya, kian ringan sakitnya. Aku sudah berdamai dengan masa lalu, tapi bukan berarti aku menjadi kebal dengan rasa sakitnya.” Begitu panjang Ia menjelaskan kembali masalah yang sedang ia hadapi kepada perempuan itu. Ia mengharap pengertiannya.

 

“Aku tahu itu semua, kamu sering menceritakannya. Keadaanmu itulah yang malah semakin membuatku ragu melanjutkan hubungan ini. Aku ternyata tidak sekuat yang aku kira. Benar memang bahwa saat awal kita bertemu, aku merasa yakin bisa menemanimu hingga lukamu itu benar-benar sembuh. Tapi kini, aku merasa berbeda. Aku rupanya tidak bisa menyembuhkanmu.”

 

“Aku tidak menyuruhmu menyembuhkanku.”

“Tapi aku ingin kau sembuh.”

“Pasti, cepat atau lambat aku akan sembuh.”

“Masalahnya kau lamban dalam banyak hal. Termasuk mencari kesembuhanmu sendiri. Aku tidak bisa menunggumu terlalu lama lagi.”

 

“Seharusnya kita sekarang bisa mengumpulkan uang dengan bekerja lebih giat dan cepat untuk modal pernikahan kita, tapi yang terjadi malah aku melakukannya sendiri sementara kau tidak bisa berbuat banyak.”

“Itu menjadi masalah yang sangat serius bagiku, aku bukan orang setangguh yang kau kira. Aku butuh seseorang yang bisa membuatku aman di kala aku ada masalah. Aku butuh orang yang bisa menyayangiku. Sementara kini, kau tidak bisa membuktikan semua itu padaku. Kau tidak bisa membuatku aman apalagi memberikanku kasih sayang.  Kau selalu lupa merawat hubungan kita, dan inilah hasilnya sekarang, aku tidak bisa lagi  mencintaimu.”

 

Tidak ada yang keliru dari ucapan perempuan itu. Ia memang melakukannya semua seorang diri. Bekerja dari pagi sampai sore setiap hari dan pulangnya masih harus mengendarai motor. Gajinya habis untuk membayar cicilan motor dan mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Tidak ada sisa uang yang bisa ditabung. Sementara Ia, si lelaki tidak bisa berbuat banyak. Ia harus menghadapi masalahnya sendiri. Menghadapi rasa traumatik masa kecilnya. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berdiam diri di kamar, Ia keluar kamar dua kali. ialah saat hendak makan atau pergi ke kamar mandi. Ia sesekali memberi kabar kepada perempuan itu. Tapi bukan kabar yang baik. Kalau sudah begitu, si perempuan selalu memberi nasehat melalui pesan singkatnya, tapi Ia tidak pernah bisa menangkap apa yang ingin disampaikan oleh perempuannya Ia menarik dan menghembuskan napasnya panjang sekali. Matanya memandang sesuatu di kejauhan. Di langit ada segumpal awan besar yang membentuk mulut raksasa menganga. Di depannya, perempuan itu tampak sangat tenang, seperti sudah benar-benar yakin dengan keputusannya.

 

“Tidak bisakah kau sabar sebentar lagi? Aku akan segera pulih dari lukaku. Setelah itu kita akan kembali menjalani hari-hari bersama. Aku akan mencari kerja dan sesering mungkin mengantar-jemputmu saat kau butuh aku. Aku akan melakukannya dengan senang hati.”

“Tidak bisa. Pertemuan siang ini bukan untuk membicarakan itu. Aku mengundangmu ke sini untuk bilang: kita bubar saja.”

 

Untuk terakhir kalinya, ia melolos lagi sebatang rokok. Pikirannya tersurut pada masa lalu, saat ia menyaksikan pertengkaran yang sering terjadi di dalam rumah. Lalu suara tangisan ibunya sepanjang malam. Sementara Ia tidak bisa berbuat banyak selain mengunci diri di kamarnya. Sekarang Ia merasa sangat bergetar.

 

“Sampai sekarang aku masih mencintaimu,” ucapnya.

“Terima kasih dan maafkan aku tak bisa lagi mencintaimu. Karena itu kusampaikan apa yang terbaik bagi kita.”

“Hanya bagimu.” Suaranya terdengar lebih serak dari sebelumnya.

“Aku akan kehilangan tiga orang yang kucintai, kau dan Ayah Ibumu, dan kau hanya kehilangan satu orang yang kau tidak bisa lagi mencintainya.”

 

“Kalau memang sudah tidak ada yang bisa kita bicarakan, aku mohon undur diri. Aku harus pulang sebelum hujan deras turun,” ucap perempuan itu sambil hendak berdiri.

“Ya, pulanglah,” jawabnya.

 

Ia kini seorang diri. Dari kejauhan terlihat perempuan itu baru saja pergi dengan motor birunya menuju arah kota. Ia lalu teringat pada suatu malam yang bahagia, ia dan perempuan itu pernah saling mencocokkan kesukaan masing-masing di masa kecil. Ia menyukai donat buatan ibunya, yang kini sering ia jadikan tema lukisannya di mana- mana, dan sebenarnya ia pandai melukis apa saja di kamarnya. Ia merasa lukisannya terlihat lebih indah jika berbentuk donat.

 

“Tuhan memberi kita pasangan yang memiliki kesukaan yang sama,” katanya.

“Lebay,” jawab perempuan itu.

 

Editor: Faris Rega Riswana

Ilustrasi: Mohamad Rizaldy P. A. P

(Visited 198 times, 1 visits today)

Last modified: 14 September 2022

Close