Yuval Noah Harari, seorang sejarawan kelahiran Israel menjelaskan dampak corona bagi dunia setelah pandemi usai. Melalui analisisnya yang dituangkan dalam sebuah artikel berjudul “Dunia Setelah Corona” menjelaskan bahwa dunia akan mengalami krisis krusial di bidang ekonomi, industri, lingkungan, dan kemanusiaan.
Dilansir dari laman Dunia.Tempo.com: “Lambatnya Respon Trump Menyebabkan Virus di AS Melonjak” pada tanggal 13 April 2019, The New York Times telah memberitakan bahwa Amerika yang menjadi pusat Ekonomi Dunia tidak sanggup menanggulangi wabah ini dengan baik, ditandai dengan keterlambatannya dalam menanggapi pandemi Corona. Dr. Charter Mecher, seorang penasihat medis senior di Departemen Urusan Veteran menjelaskan bahwa dirinya sudah berupaya keras mendesak jajaran atas birokrasi kesehatan masyarakat AS untuk bangun dan bersiap menghadapi kemungkinan tindakan yang jauh lebih drastis. “Ukuran wabah yang diproyeksikan tampaknya sudah sulit dipercaya.” Jelasnya.
Namun, Donald Trump lambat untuk menerima skala risiko dan bertindak berdasarkan ukuran melindungi keuntungan dalam ekonomi dan menepis peringatan dari para pejabat senior. Masih menurut laporan New York Times, Trump akhirnya kecewa karena perancangan target Ekonomi yang semula ia rencanakan tiba-tiba berantakan.
Amerika yang semula tidak mengindahkan pandemi ini akhirnya termakan oleh kebijakannya sendiri. Alih-alih mengamankan laju ekonomi, yang terjadi justru terjerumus dalam persoalan ini dan berdampak pula pada Ekonomi.
Sebagaimana dilansir dari Majalah Tempo: “Kematian karena Virus Corona di Amerika 20 Ribu Orang”, Amerika kini menjadi episentrum pandemi dunia, dengan jumlah kematian sebanyak 20.000 Jiwa dan melampaui Italia yang semula menjadi Negara tertinggi penyumbang kematian wabah dengan jumlah kematian 19.000 Jiwa.
Indonesia sebagai bagian dari perekonomian global turut serta pula terkena imbas dari ketidakstabilan ekonomi. Pasalnya, ditengah-tengah wabah Indonesia akan banyak mengeluarkan Anggaran Negara untuk menangani wabah sebagaimana yang dilakukan oleh Amerika.
Pada tanggal 3 April 2020 lalu, Presiden Joko Widodo telah memutuskan regulasi terkait alokasi dana demi mengatasi pandemi Covid-19 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2020 Tentang Perubahan Postur Dan Rincian Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020. Dalam Perpres tersebut dinyatakan bahwa demi memastikan ketersediaan anggaran dengan tetap mempertahankan kesehatan dan kesinambungan keuangan negara, pemerintah menetapkan perubahan atas Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020, yang meliputi: i) Anggaran Pendapatan Negara; ii) Anggaran Belanja Negara; iii) Surplus/ defisit anggaran; dan iv) Pembiayaan Anggaran.
Anggaran Pendapatan Negara yang semula diperkirakan sebesar Rp2.233 triliun berubah menjadi Rp1.760 triliun. Anggaran Pendapatan Negara ini terdiri dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp1.462 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp297,75 triliun dan Penerimaan Hibah sebesar Rp498,74 miliar.
Sementara itu, Anggaran Belanja Negara yang semula diperkirakan sebesar Rp2.540,422 triliun mengalami kenaikan menjadi sebesar Rp2.613,8 triliun. Anggaran Belanja Negara ini terdiri dari Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) sebesar Rp1.851,10 triliun (termasuk di dalamnya tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp255,110 triliun), serta Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang diperkirakan sebesar Rp762,718 triliun.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia, menyatakan dalam wawancaranya dengan Kompas TV dalama acara “Conference Call: Sri Mulyani Beberkan Skenario Terburuk Perekonomian RI Setelah Wabah Corona” pada tanggal 1 April 2020, bahwa peralihan alokasi dana ke dalam sektor kesehatan akan memiliki dampak besar. Perekonomian Indonesia akan mengalami penurunan sebesar 2,5% dan kemungkinan terburuknya dapat mencapai -0,4%.
Sedangkan dalam sektor keuangan di bidang investasi, masih kata Sri Mulyani, kemungkinan besar akan turun drastis dari 6% ke 1%. Penurunan itu kemudian akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja dalam bisnis atau bahkan kebangkrutan.
Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pasca berakhirnya pandemic Covid-19 Indonesia akan mengalami kegetiran dalam sektor Ekonomi. Konversi tersebut juga menandakan bahwa akan ada ketidakstabilan perekonomian skala global.
Dilematika itu kemudian akan digambarkan dalam sebuah pertanyaan, akankah Indonesia akan tetap bergabung dalam perekonomian dunia? Mengingat Amerika perlahan runtuh dan rasio investasi yang kian menurun
Apabila jalan tempuh yang diambil Indonesia adalah tetap bergabung dalam perekonomian dunia, maka Indonesia harus siap bertaruh dengan krisis ekonomi sebagaimana yang terjadi pada tahun 1998, dengan dampak sosial yang tergambar pada tingginya ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi.
Seperti yang dilansir dari laman Medium.com dengan judul artikel “Kesenjangan Ekonomi Sosial”, ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi bukanlah kejadian alam yang tiba-tiba terjadi begitu saja, namun ia dibentuk dari ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi yang dialami. Adapun faktor penyebab terjadinya kedua hal diatas meliputi 8 faktor: menurunnya pendapatan per kapita, ketidakmerataan pembangunan antar daerah, rendahnya mobilitas sosial, pencemaran lingkungan alam, biaya pendidikan mahal, tingginya pengangguran, lahirnya ideologi kapitalis, dan hilangnya asas gotong royong.
Meski Indonesia telah melakukan pembenahan ekonomi sejak era Reformasi, Indonesia tidak kemudian mengalami stabilitas ekonomi yang makmur. Hal ini karena kemudi perekonomian Indonesia tetap disandarkan pada perekonomian global. Indonesia akan terus sulit mencapai kesejahteraan bangsa dalam mengurangi kemiskinan sebagaimana terjadi pada tahun 1998 sampai saat ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari databoks.katadata.id, Pertumbuhan ekonomi terendah sebesar 0,79% terjadi pada tahun 1999 dan tertinggi 6,22% pada 2010. Meski mengalami kenaikan pertumbuhan ekonomi, namun kenaikan tersebut tidak beriringan dengan meningkatnya kesejahteraan ekonomi. Hal ini dikarenakan titik acuan stabilitas ekonomi itu sendiri adalah akumulasi data dari pemilik modal, tanpa memperhatikan kesenjangan yang terjadi antara pemilik modal dan masyarakat kelas bawah.
Laju pertumbuhan ekonomi seyogyanya harus diiringi dengan pemerataan distribusi pendapatan, Ia harus mencapai kondisi full employment agar hasil pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat.
Maka dari itu peranan daripada pertumbuhan ekonomi sendiri adalah pemerataan, pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Dan ketiga hal itu haruslah beriringan.
Badan Pusat Statistika (BPS) mencatat bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami penurunan sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2019. Pada Agustus 2019, TPT turun menjadi 5,28 persen dibandingkan tahun lalu yang sebesar 5,34 persen. Terdapat 5 orang penganggur dari 100 orang angkatan kerja di Indonesia.
Namun menurunnya pengangguran bukan berarti kesejahteraan terpenuhi. Dilansir dari Liputan6.com: BPS: Penghasilan Rp 1,9 Juta Per Bulan Masuk Kategori Warga Miskin pada tanggal 15 Juli 2019 lalu, Kepala BPS Suhariyanto menyatakan bahwa pada Maret 2019 garis kemiskinan Indonesia menjadi sebesar Rp 425.250 per kapita per bulan.
Posisi itu mengalami peningkatan 3,55 persen dari garis kemiskinan September 2018 yang sebesar Rp 410.670, juga naik sebesar 5,99 persen dibanding Maret 2018 yang sebesar Rp 401.220.
Ia menjelaskan, jika rata-rata satu rumah tangga di Indonesia memiliki 4 hingga 5 anggota keluarga, maka garis kemiskinan rata-rata secara nasional menjadi sebesar Rp 1.990.170 per rumah tangga per bulan.
Ditengah pandemi Covid-19 ini, diperkirakan akan terjadi lonjakan yang cukup tinggi terhadap kebutuhan bahan pokok, sementara prekonomian global juga tidak stabil, sehingga berdampak pada nasib perekonomian di Indonesia. Maka menurut opini penulis, langkah yang dapat diambil Indonesia saat ini adalah memisahkan diri dari siklus perekonomian dunia.
Indonesia dapat kembali mengelola perekonomiannya secara mandiri. Masyarakat dapat bersatu-padu menggalang niat pesatuan demi terwujudnya bangsa yang adil dan makmur, sebagaimana yang dicita-citakan dalam Pancasila. Bahkan tidak mustahil apabila Indonesia pada 5 tahun mendatang dapat menjadi pusat perekonomian dunia, mengingat banyaknya sumber daya alam Indonesia yang begitu limpah ruah dan seharusnya bisa dikelola oleh bangsa sendiri.
Salah satu negara yang mencoba menerapkan untuk mengelola perekonomiannya sendiri adalah Inggris. Inggris meninggalkan Uni Eropa pada Tahun 2019 lalu. BBC mencatat dalam berita yang berjudul “Inggris resmi meninggalkan Uni Eropa”, bahwa Inggris pasca Perang Dunia II tepatnya pada tahun 1973 mencoba ikut serta dalam kerja sama Eropa yang diwadahi oleh Uni Eropa. Uni Eropa sendiri adalah sebuah wadah sebagai bentuk kerja sama beberapa Negara Eropa demi menunjang upaya peningkatan perdagangan berskala besar.
Sepanjang perjalanannya bekerja sama dalam Uni Eropa, Inggris menyadari bahwa negara tersebut tidak menemukan hasil yang signifikan. Sebagaimana yang dilansir oleh CNN: “Inggris keluar dari Uni Eropa”, Perdana Menteri Inggris Borris Jhonson menuturkan, “Uni Eropa yang berusia 50 tahun sudah berubah arah dan tidak sejalan lagi dengan negara ini,“ jelasnya.
Akhirnya pada Tahun 2019 lalu Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa. Sebab dirasa peningkatan imigran yang kian tahun kian meningkat tidak berbanding lurus dengan apa yang Inggris dapatkan dari Uni Eropa. .
Ketimpangan Ekonomi di Indonesia yang berbelit-berbelit seharusnya juga membuat Indonesia perlu mengevaluasi apa hal yang paling substansial dari permasalahan ekonomi di negara ini. Menurut penulis, menjadikan keseimbangan ekonomi sebagai sebuah tolak ukur kemudian menjadi sesuatu yang perlu diacu oleh pemerintah, sehingga peningkatan ekonomi dapat beriringan dengan kesejahteraan masyarakat.
Seperti halnya Inggris yang menyadari bahwa Negaranya sudah mampu mengelola kesejahteraan masyarakatnya dan keluar dari Uni Eropa, begitupun Indonesia dengan kondisi sumber daya alam yang cukup melimpah, dan Industri yang telah dipersiapkan seharusnya terbilang cukup untuk merintis kembali perekonomian Indonesia secara mandiri. ffffffffffff
covid indonesia jokowi kebijakanindonesia opini
Last modified: 17 April 2020