Dengan masih berpakaian lengkap sepulang kerja, Nyala meringkuk di sudut kamar mandi, tangannya memeluk lutut, matanya menatap kosong dinding kamar mandi, pipi kirinya menempel pada ubin yang dingin, tapi ia seolah-olah tidak merasa kedinginan. Padahal 2 jam yang lalu ia telah menghabiskan setengah bak air untuk mengguyur tubuhnya, bahkan posisinya tidak berubah dari awal.
Pintu kamar mandi perlahan terbuka, lalu muncul perempuan remaja berusia sekitar awal 14 tahun. Terang, namanya. Ia dengan tergesa menghampiri Nyala yang masih dengan posisi seperti sebelumnya. “Tidakkah kau paham apa yang kau lakukan?” Ucap Terang panik, sambil menarik lengan perempuan berusia seperempat abad itu untuk bangun.
Nyala tetap bergeming, tatapannya masih kosong. Selepas keluar dari kamar mandi, Terang membawa Nyala menuju kamar dan menggantikan bajunya yang basah. Terang melihat kulit Nyala yang putih semakin memucat, telapak tangan dan kakinya juga mulai keriput. Terang lekas membuka lemari untuk mencari pakaian hangat untuk Nyala.
“Sedang apa kau di situ?” Tanya Terang ketika mendapati Ala, gadis kecil dengan baju merah muda yang di beberapa bagiannya sobek. Pelipisnya lebam, sudut bibirnya ada darah kering, tangan dan kakinya luka-luka di beberapa bagian.
“Ayo keluar! Kau tidak akan bisa bernapas jika tetap di situ,” gadis kecil itu perlahan merangkak keluar dari lemari. Kemudian Terang mengangkat tubuh kecil Ala dan mendudukkannya di atas ranjang.
Baca Juga: Luka Lama
“Aku juga tak ingin. Tapi setiap orang hidup pasti punya masalah dan aku tidak mau menjadi orang yang lari dari masalah. Sudah kuceritakan banyak hal kepadamu tentang bagaimana masalah demi masalah datang kepadaku dan bagaimana aku sendirian menghadapi semuanya.”
Ia kembali mencari pakaian hangat di dalam lemari. Setelah menemukan apa yang ia cari, Terang segera menggantikan pakaian Nyala, mengeringkan rambutnya dengan handuk, dan memakaikan minyak angin agar suhu dingin pada tubuh Nyala segera berkurang.
“Padahal, rambutmu sudah memanjang. Tanganmu juga sudah bersih dari goresan. Apa lagi kali ini?” Nyala tetap diam, sedangkan Ala terus memandangi Nyala dengan mata berbinar.
“Ayo ke dapur, kau pasti belum makan” Tanya Terang sambil mengangkat tubuh kecil Ala dari kasur.
Setelah Terang memastikan Ala berada di gendongan kirinya, Ia segera menarik Nyala dengan tangan yang lain untuk ke dapur. Sesampainya di dapur, terlihat sosok perempuan yang usianya sekitar 2 tahun di bawah Nyala. Rambutnya cepak, kaos putihnya kotor terkena bumbu masakan yang mulai berubah menjadi kecoklatan. Bau amis ikan dan bau badannya bercampur, dari jarak 5 meter sudah tercium sengak. Seperti orang yang belum mandi selama beberapa hari.
Perempuan berambut cepak itu terlihat tulus menyiapkan makanan, padahal jika dilihat dari kejauhan, ia nampak sangat kelelahan. “Binar, bisakah kau siapkan semangkuk masakanmu untuk Nyala?” ucap Terang.
Setelah mendengar perkataan Terang, dengan cekatan ia mengambil mangkuk yang ada di rak dan dengan tergesa-gesa menuangkan sup yang ada di panci.
“Kau tidak perlu tergesa-gesa.”
“Ya, sebentar.” jawab Binar dan segera meletakkan mangkuk yang dibawanya di atas meja tempat Nyala duduk. “silakan di makan, kalau dingin tidak enak,” sambungnya lalu kembali ke depan kompor, melanjutkan masakannya yang belum selesai.
Selama Nyala memakan sup, Terang menyisir rambut Ala yang sejak tadi tidak bisa mengalihkan pandangannya ke Nyala. Perlahan Nyala mulai menyuapkan sup ke mulutnya, sambil sedikit mencoba menyadarkan dirinya. Ia beralih menatap ke arah Terang yang tengah menyisir rambut seorang gadis kecil dipangkuannya.
“Kau mengapa menatapku terus dari tadi?” tanya Nyala saat merasakan sorot mata gadis kecil itu yang tak lepas dari dirinya.
“Kau cantik, hehe,” jawab Ala dengan terkekeh kecil.
Mendengar itu, Terang tersenyum simpul dan berucap lirih, “kau juga akan seperti itu.”
Suasana meja makan yang semula mulai menghangat, menjadi tiba-tiba hening saat pintu utama terbuka, lalu muncul perempuan awal kepala dua memasuki rumah dengan wajah ceria sembari menenteng tas ransel berwarna abu-abu di bahu kirinya.
“Kau dari mana, Se?”
“Main sama Bara, hehe,” jawab Sese senang, dan disambut tatapan tajam Nyala.
Tepat setelah jawaban dari Se, Nyala menatap Sese dengan tajam.
“Kau! Tinggalkan Bara!” Ucap Nyala dengan nada sedikit membentak. Sese yang mendengar itu mengeryit heran tak paham dengan maksud ucapan Nyala.
“Apa maksudmu?” balas Sese.
Baca Juga: Aku Ingin Menjadi Wanita
“Jadi benar selama ini ibumu itu menutupi jati dirimu agar aku tidak mengusirmu?” emosi ayahnya semakin naik terdengar jelas suaranya semakin keras, “bahkan matipun dia meninggalkan hal yang hina.” Meski ayahnya mengucapkan dengan suara lirih, Ian masih bisa mendengar.
“Kau tidak mengerti, apa yang terjadi padaku. Apa yang telah dilakukan Bara padaku,” Nyala sudah berdiri dari duduknya, pandangan matanya yang kosong berubah menjadi amarah. Nafasnya mulai memburu, kedua tangannya mengepal. sebelum semakin meledak, Terang segera menenangkan Nyala dengan menepuk-nepuk punggungnya.
“Kau tau kenapa kau seperti ini, kau tau kenapa aku dan mereka ada di sini?”
Masih dengan posisi yang sama, matanya yang menyiratkan amarah seketika berubah menjadi kosong.
“Kau bisa menjawabnya?” tanya Terang sekali lagi. Namun Nyala tetap bungkam.
“Atau kalian mau menjelaskan padanya?”
Binar mengedikkan kepalanya, menunjuk dagunya pada Terang seolah mengisyaratkan bahwa Terang saja yang menjelaskannya.
“Ala, apa ada yang ingin kau sampaikan?” Tanya Terang.
“Ya. Nyala, aku sangat mengagumimu, tapi kenapa kau tidak mau memaafkanku? Adaku memang adalah luka bagimu, tapi kenapa kau tidak mengakui itu? Kau hanya menyusahkan dirimu sendiri, Nyala.” Ujar Ala dengan raut wajah nanar, perkataannya tidak menunjukkan bahwa ia anak yang berusia 5 tahun.
“Kau, Binar. Keluarkan apa saja yang kau pendam selama ini.” ucap Terang memerintah.
“Sampai sekarang aku tidak pernah mengerti, mengapa kau begitu membenciku. Apa karena aku lebih memerhatikan Ayah daripada Ibu yang sakit keras saat itu? Karena aku terlalu terpaku pada kesalahan Ibu pada Ayah di masa lalu, tanpa banyak berpikir mengapa Ibu melakukan itu? Iya?”
Setelah mengucapkan itu, Binar menghela napas sebentar.
“Aku sudah mengakui, tempat kesalahanku ada di mana. Tapi mengapa hingga saat ini kau masih tidak menerima apa yang terjadi? Kau juga tahu, seberapa keras aku saat itu, tapi mengapa kini sesulit ini?” lanjut Binar.
Mendengar hal itu, Nyala mulai menangis, air matanya terus mengalir. Namun bibirnya tetap bungkam, tidak ada isakan.
Binar menatap Sese, beberapa kali berkedip seolah mengisyaratkan Sese untuk mengutarakan apa yang ada di kepalanya.
“Aku salut, kau masih hidup meski jiwamu sudah mati bertahun yang lalu. Sejujurnya, aku tidak mengerti mengapa kau sangat marah kepadaku. Padahal di antara kita yang ada di sini, hanya aku yang memiliki alasan untuk hidup. Sedari awal aku tahu, hubunganku tidak akan bertahan lama atau bahkan berakhir dengan baik. Tapi aku punya harapan dari sana, bahwa aku akan menemukan alasan-alasan lain untuk hidup. Meskipun nanti satu per satu alasan yang kutemukan akan pergi dan hilang silih berganti. Kau sendiri yang terlalu terpaku dengan luka dan rasa takutmu, mengapa kau semarah ini padaku?”
Melihat Nyala yang semakin histeris, Terang menyerahkan Ala ke gendongan Sese kemudian berjalan ke arah Nyala. Ia menyamakan tingginya setara dengan Nyala—dengan berjongkok di hadapan Nyala—yang duduk di atas kursi kayu tua yang sudah mulai rapuh dimakan rayap.
Digenggamnya tangan Nyala yang semakin kurus, ibu jarinya mengusap punggung tangan Nyala perlahan.
“Apa yang membuatmu seperti ini? Memupuk luka yang berdarah hingga bernanah. Menerima memang sesulit itu, ya?” Tanya Terang yang masih berjongkok di depan Nyala yang wajahnya memerah dan air matanya terus mengalir.
Nyala mengangguk perlahan. “Apa ada yang ingin kau katakan? Bagaimana akan menerimanya jika mengakuinya saja kau enggan?” tanya Terang sekali lagi.
“Aku sudah mengakuinya sejak lama, mencoba menerima perlahan. Mencoba menghubungkannya dengan segala hal agar apa yang terjadi padaku, pada kita, adalah hal yang adil. Tapi mengapa dari segala penerimaanku itu, tidak ada yang bisa membuatku lega?”
Mendengar apa yang diucapkan Nyala, Binar mengusap halus kepala Nyala. Persis seperti yang biasa dilakukan ibunya saat ia sedih. “Nyala, hidup adalah serangkaian ketakutan. Jika kau tidak bisa berjalan, melangkah maju atau mundur, berbelok atau melompat, pasti ada yang kau takuti tapi kau menyangkalnya. Itu yang kau katakan dulu saat kau seusiaku.”
Binar memberi jeda sejenak, lalu melanjutkan perkataannya. “Jadi, apa yang kau takutkan saat ini?” tanya Binar lirih dengan masih menepuk-nepuk puncak kepala Nyala.
Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa detik, Nyala tampak mengatur nafasnya berulang kali untuk menghentikan tangisannya. Setelah mulai tenang, ia memandang empat orang berbeda usia di ruangan itu satu persatu.
“Diriku sendiri.”
“Terakhir kau takut pada dirimu sendiri, kau menyayat perut dan pahamu.”
“Aku sudah tidak melakukannya.”
“Lalu?”
“Aku sudah lama tidak takut jika suatu saat aku akan menyayat atau menguliti tubuhku sendiri. Saat ini yang kutakutkan adalah kehilangan empati. Tidak merasakan apapun membuatku takut secara tidak sengaja aku menyakiti orang lain. Bukan, aku bukan takut untuk dibenci banyak orang. Aku takut, bahkan hanya dengan menyebutkan namaku saja, orang yang kusakiti akan kesulitan bernafas, seperti yang kurasakan bertahun-tahun ini. Aku takut, bahkan saat mendengar suaraku saja ia akan sangat ketakutan. Seolah aku monster yang akan memangsanya kapan saja. Aku takut aku adalah sumber ketakutan orang lain.”
Lagi-lagi, keheningan menyelimuti mereka. Terang yang masih dengan posisi jongkok menenggelamkan wajahnya di telapak tangan Nyala. Binar juga masih menepuk-nepuk kepala Nyala. Melihat ketiga orang berbeda usia tersebut, Sese menghela nafas pelan.
“Tidak apa, Nyala. Tidak apa. Kau bukan takut kehilangan empati, kau bukan takut menjadi sumber ketakutan orang lain. Kau takut karena kau akan semakin sekarat jika orang lain sakit karenamu. Kau juga pernah bilang, kan? Jangan memikirkan orang lain dulu, tidak salah kau menghindar dari hal-hal yang membuatmu sakit.” Ucap Sese.
Ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, tapi berkali-kali. Namun kali ini, lebih parah dari sebelumnya. Amarah, rasa sakit, ketakutan yang selama ini hanya disimpan, meledak begitu saja.
Dengan masih menenggelamkan wajahnya di telapak tangan Nyala, Terang berkata lirih, “yang dikatakan Sese, benar. Kau harus memikirkan dirimu sendiri terlebih dahulu. Bagaimana kau bisa menyelamatkan orang lain, jika dirimu sendiri saja tidak selamat.”
“Tapi Nyala, kau mungkin bisa menghindar dari orang lain yang menjadi sumber ketakutanmu. Namun, kau tidak bisa menghindar dari dirimu sendiri.” Ucap Ala yang masih dengan nyaman di gendongan Sese.
Terang yang hanya memperhatikan mereka, juga ikut mengiyakan apa yang mereka katakan. “Nyala, aku harap kali ini kau sadar dan mengerti. Aku, kau—ah bukan—kita, bisa keluar dari lingkaran ketakutan dan amarah yang kita ciptakan.” Setelah mengucapkan itu, Binar, Ala, Sese, dan Terang saling memandang satu sama lain, seolah meyakinkan diri mereka untuk melakukan sesuatu.
“Nya, pahami bahwa yang terjadi pada Ala saat ia berusia 5 tahun itu bukan kesalahannya, bukan kesalahanmu, itu sepenuhnya salah bajingan itu. Ala berhak atas hidupnya, meski lukanya tidak sepenuhnya sembuh. Kau juga tahu, kan? Terang keluar dari lingkungan yang beracun itu karena ia sadar, bahwa ia hanya dimanfaatkan? Kau juga harus menerima, bahwa tidak memiliki teman bukanlah akhir dari dunia. Atau kau masih belum memaafkan, jika Terang dibully dan ia tidak bisa melawan mereka? Kau membenci seorang pecundang yang hanya bisa diam, kan?” Ujar Sese panjang lebar, sedikit memberi jeda untuk Nyala yang seperti mulai kehilangan kendalinya.
Merasa terpojok, Nyala yang sebelumnya tenang kembali histeris. Ia melepas genggaman Terang dan menjambak rambutnya, air matanya kembali mengalir di wajahnya yang kian memerah. Melihat hal itu, Terang dan Binar memaksa melepas tangan Nyala dari rambutnya. Keduanya memeluk Nyala dengan erat dan memastikan bahwa Nyala tidak menyakiti dirinya.
Setelah dirasa cukup kondusif, Sese menghela nafas pelan dan kembali melanjutkan perkataannya. “Aku akan terus mengatakan ini, Nyala. Kau marah pada Binar karena Binar lebih memilih Ayah daripada Ibu, bukan? Tanpa berpikir bahwa Ibu juga kesakitan saat itu. Tapi kau lupa, pada akhirnya Ayah dan Ibu sudah saling menerima apa yang terjadi pada mereka, mereka sudah saling memaafkan, bahkan mereka meminta maaf padamu. Namun, ironinya kau hanya mengingat rasa sakitnya saja. Kau melupakan hal-hal yang lebih penting dari itu. Lalu, kau membenciku karena Bara, kan? Kau selalu begitu, Nyala. Ah, tidak. Kita selalu begitu. Selalu memikirkan konsekuensi terburuk, tapi akan sulit menerima, atau bahkan lepas kendali jika konsekuensi terburuk itu terjadi. Dan saat ini, kau membenci dirimu sendiri karena kau tidak mempercayai siapapun di sekitarmu, kau takut akan kebaikan orang lain, kau hanya mempercayai istilah people come and go, kau benci dirimu sendiri yang tidak takut akan kehilangan siapapun lagi. Kau takut jika menerima orang lain masuk ke dalam hidupmu, mereka akan menyakitimu lagi, atau bahkan skenario terburuknya kau sekarat karena kau sendiri yang menyakiti mereka.”
Ala yang semula di gendongan Sese, meminta turun dari gendongan. Ia berjalan ke arah Nyala yang masih terisak dalam pelukan Binar dan Terang. Terang yang melihat Ala sepertinya ingin berbicara dengan Nyala, menggeser tubuhnya dan memberi ruang untuk Ala.
Tangan mungil Ala mengusap air mata Nyala yang terus mengalir di pipinya. “Nyala, aku serius dengan apa yang kukatakan tadi. Kau mungkin bisa menghindar dari orang lain yang menyakitimu. Tapi kau tidak bisa menghindar dari dirimu sendiri, terlebih lagi rasa takutmu. Kau selalu mengganti namamu tiap kali kau tidak bisa berdamai dengan rasa takut dan rasa sakitmu, ya kan? Berharap segala apa yang kau rasakan bisa hilang dan pergi seiring kau melupakan nama-namamu yang lain. padahal, aku, Binar, Sese, Terang adalah bagian dari dirimu. Rasa takut, rasa sakit, amarah, sedih, kecewa atau bahkan suka cita yang ada pada diriku—pada kami, adalah bagian dari dirimu.”
Setelah mengucapkan itu, Binar, Terang, Ala, dan Sese berdiri dihadapan Nyala dengan tersenyum.
“Kami bangga padamu, Nyala. Kami harap kau akan tetap hidup dengan nama Nyala, dengan segala senang dan sedihmu.” Lanjut Ala dengan senyuman yang menunjukkan dua gigi susunya yang tanggal.
“Sebinar Nyala Terang, ingat! Orang-orang bisa pergi dari dirimu, tapi tidak dengan dirimu sendiri.”
Even if I get swept away and become lost, I’m free
I won’t close my eyes to the darkness that locks me up anymore
I won’t ignore myself again
But (still) sometimes
There will be days that I lose from my life
Even if get lost again, I know my way back
(My Sea – IU)
Editor: Zahra Salsabilla Ashari
cerpen kepribadian love your self sastra self harm
Last modified: 08 Juni 2023